TRANSFORMASI PENDIDIKAN: MENYELAMI GAGASAN PARA FILOSOF DARI MASA KE MASA
(Disarikan dari Dzikir Jum'at Syakh A.S. Panji Gumilang oleh Ali Aminulloh)
Dzikir Jum'at, 13 Juni 2025, menjadi momentum reflektif di mana Syaykh Panji Gumilang menyampaikan perenungan mendalam mengenai filsafat pendidikan dari zaman ke zaman. Tema ini bukan sekadar telaah intelektual, tetapi langkah konkret memperkaya fondasi pendidikan nasional, menuju konsep besar yang telah digaungkan: Transformasi Revolusioner Pendidikan Abad 21. Gagasan ini, menurut Syaykh, harus disampaikan kepada negara agar arah pembangunan pendidikan kita tidak tercerabut dari akar filosofis dan spiritualnya.
Untuk itu, Syaykh mengajak jamaahMasjid Rahmatan lil Alamin  menelusuri sejarah pendidikan dalam lintasan waktu, menyambungkan gagasan besar para filosof dunia dengan visi pendidikan kontemporer berbasis nilai-nilai ilahi. Beliau  menggarisbawahi tiga tujuan utama, yaitu menelusuri transformasi pendidikan, menghubungkan konteks filosofis, dan mengembangkan pendidikan modern.
1.Menelusuri transformasi pendidikan
Menggali bagaimana setiap periode membawa perubahan "Konsep Pendidikan" dari kebijakan dan karakter hingga pragmatisme dan teknologi
2.Menghubungkan konteks filosofis
Melihat bagaimana pemikiran filosof dari berbagai zaman membentuk struktur pendidikan yang kita kenal hari ini. Sebagaimana ajaran ilahi dalam al-qur'an (Ali Imran: 26) Â menyatakan : Qulillhumma mlikal-mulki tu`til-mulka man tasy`u wa tanzi'ul-mulka mim man tasy`u wa tu'izzu man tasy`u wa tuillu man tasy`, biyadikal-khar, innaka 'al kulli syai`in qadr
(artinya: Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu).
Dalam ayat lain (As-Sajdah: 5) yudabbirul-amra minas-sam'i ilal-ardli tsumma ya'ruju ilaihi f yauming kna miqdruh alfa sanatim mimm ta'uddn (Artinya: Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (segala urusan) itu naik kepada-Nya pada hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu).
Kita sambungkan pandangan dari generasi ke generasi ke konteks masa kini.
3.Mengembangkan pendidikan modern
Menyesuaikan nilai nilai masa lalu dengan tantangan kontemporer, terutama dalam konsep novum gradum dan masyarakat 6.0
Syaykh memaparkan, pendidikan selalu mengalami transformasi dalam setiap fasenya. Perubahan itu mencakup aspek konsep, karakter, kebijakan, hingga pergeseran menuju pendekatan pragmatis dan teknologi modern. Akar perubahan itu, katanya, dapat ditelusuri dalam tujuh fase sejarah filsafat pendidikan:
1.Zaman Klasik/Kuno
2.Zaman Sebelum Pertengahan
3.Zaman Pertengahan
4.Zaman Keemasan Islam
5.Zaman Renaissance dan Humanisme
6.Zaman Modern
7.Zaman Kontemporer
Pada Dzikir Jum'at hari ini, Syaykh memaparkan pemikiran para Filosof Zaman Klasik atau zaman kuno.
Menelusuri Delapan Jejak Filsuf Pendidikan Dunia
Di tengah kebangkitan semangat transformasi pendidikan Indonesia, penting untuk menengok kembali akar-akar pemikiran pendidikan yang telah dibangun oleh para filsuf besar dunia. Sebuah perjalanan historis yang bukan hanya merefleksikan gagasan semata, melainkan membentuk struktur kesadaran kita dalam melihat pendidikan sebagai jalan membentuk manusia paripurna. Delapan tokoh filosof klasik berikut memberi landasan penting bagi pendidikan lintas zaman, yang jika kita gali lebih dalam, akan memperkaya narasi besar revolusi pendidikan kita hari ini.
1. Socrates: Pendidikan sebagai Kelahiran Kesadaran Kritis
Socrates (469--399 SM) adalah figur penting yang menandai babak awal dalam filsafat pendidikan klasik Yunani. Uniknya, Socrates tidak meninggalkan karya tulis apapun; pemikirannya disampaikan lewat dialog dan kemudian dituliskan oleh muridnya, Plato. Dalam dialog Republik, Plato menarasikan pemikiran Socrates tentang negara yang ideal, di mana pendidikan menjadi alat untuk membentuk manusia kritis dan bermoral.
Socrates mengibaratkan pendidikan sebagai bidan (maieutika)---bukan memaksakan ilmu dari luar, melainkan membantu "melahirkan" pengetahuan dari dalam diri peserta didik. Ia mendorong pembentukan kesadaran moral dan intelektual melalui dialog dan pertanyaan kritis, pendekatan yang dikenal saat ini sebagai Socratic Questioning. Dalam konteks pendidikan karakter modern, gagasan ini menjadi dasar bagaimana guru mendorong peserta didik berani berpikir dan menyuarakan pendapat secara reflektif.