Mohon tunggu...
ALI AKBAR HARAHAP
ALI AKBAR HARAHAP Mohon Tunggu... Kader HMI

Buat video youtube

Selanjutnya

Tutup

Politik

Proxy War di Media Sosial: Perang Senyap yang Menentukan Masa Depan Bangsa

21 September 2025   03:56 Diperbarui: 21 September 2025   03:56 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apakah sebuah bangsa bisa dikalahkan tanpa peluru ditembakkan? Jawabannya: bisa. Di era digital, perang tidak lagi membutuhkan tank, kapal induk, atau rudal balistik. Senjata paling mematikan kini adalah narasi disampaikan lewat media sosial, didorong algoritma, dan ditanamkan ke kesadaran publik.

Inilah wajah baru proxy war, perang perpanjangan tangan yang sunyi namun sistematis.

Medan Perang Baru: Pikiran Kolektif

Dalam sejarah, proxy war berarti keterlibatan pihak ketiga untuk mewakili kepentingan negara besar. Namun, abad ke-21 menghadirkan evolusi: medan perang bergeser dari daratan ke ruang digital, dengan sasaran utama pikiran kolektif manusia.

 "Dulu kita berperang untuk wilayah. Kini kita berperang untuk narasi."

Pertempuran persepsi ini berlangsung tanpa gencatan senjata, tanpa deklarasi perang, tetapi dampaknya bisa lebih destruktif dari konflik bersenjata.

Algoritma: Senjata Baru yang Tak Terlihat

Jika senjata kimia meracuni tubuh, maka algoritma meracuni pikiran. Platform seperti Facebook, TikTok, hingga X bukan sekadar ruang interaksi, melainkan arena manipulasi.

Laporan We Are Social (2024) menunjukkan 5,16 miliar orang aktif di media sosial. Dengan skala sebesar itu, satu narasi terkoordinasi dapat memengaruhi opini global hanya dalam hitungan jam.

Algoritma tidak netral. Ia dapat diarahkan untuk menguatkan isu tertentu, menenggelamkan narasi lain, dan memecah belah masyarakat.

Indonesia: Target Empuk Proxy War Digital

Indonesia adalah surga sekaligus medan tempur: jumlah pengguna internet raksasa, literasi digital masih rapuh, dan polarisasi politik begitu tajam.

1. Polarisasi Politik

Polarisasi "cebong vs kampret" adalah bukti bagaimana aktor politik domestik dan asing memanfaatkan media sosial untuk menggerus legitimasi demokrasi.

2. Isu Global

Konflik Rusia Ukraina dan Palestina Israel membanjiri timeline kita dengan propaganda digital. Indonesia bukan hanya penonton, tetapi juga sasaran perebutan simpati.

3. Perang Ekonomi

Serangan narasi terhadap produk-produk tertentu, yang seolah organik, sesungguhnya adalah strategi melemahkan daya saing nasional.

 "Proxy war digital tidak lagi soal siapa musuhnya, tetapi siapa yang paling cepat menguasai persepsi publik."

Strategi yang Digunakan

Hoaks & Disinformasi  membanjiri ruang publik dengan keraguan.

Propaganda Digital menanam narasi jangka panjang.

Astroturfing  menciptakan ilusi gerakan rakyat yang sesungguhnya terkoordinasi.

Big Data & Micro targeting  mengarahkan pesan ke kelompok spesifik berdasarkan psikologi mereka.

Seperti dikatakan Joseph S. Nye (2004), "kekuatan terbesar datang bukan dari paksaan, melainkan dari kemampuan membentuk keinginan orang lain."

Ancaman Strategis bagi Bangsa

Proxy war di media sosial berpotensi:

Merobek kohesi sosial bangsa.

Mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Mengalihkan energi kolektif bangsa dari pembangunan ke perdebatan semu.

Ini bukan sekadar persoalan komunikasi, melainkan ancaman terhadap kedaulatan nasional.

Pertahanan yang Diperlukan

1. Literasi Digital Sistemik masyarakat tidak hanya diajari mengenali hoaks, tetapi juga memahami geopolitik di balik narasi.

2. Kedaulatan Data & Algoritma Indonesia perlu menegakkan kedaulatan digital, dari regulasi iklan politik hingga infrastruktur server nasional.

3. Koalisi Negara & Masyarakat Sipil benteng pertahanan tidak bisa hanya negara; media independen, akademisi, dan komunitas digital harus terlibat.

Penutup: Bangsa dalam Cengkeraman Narasi

Proxy war di media sosial adalah perang senyap, tapi dampaknya nyata. Ia menentukan siapa yang dipercaya rakyat, siapa yang dipertentangkan, dan siapa yang akhirnya dikorbankan.

 "Bangsa yang gagal menguasai narasinya sendiri akan ditulis oleh narasi bangsa lain."

Indonesia tidak boleh menjadi penonton dalam sejarah digital global. Pertahanan terbesar kita bukan terletak pada jumlah tentara, melainkan pada kesadaran kritis warganya.

 Referensi:

Nye, Joseph S. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics. Public Affairs.

We Are Social. (2024). Digital Global Report.

BSSN. (2023). Laporan Tahunan Keamanan Siber Indonesia.

McQuail, Denis. (2010). McQuail's Mass Communication Theory. Sage.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun