Menjadi orang terkenal adalah impian banyak orang, baik di bidang seni, politik, maupun dunia digital. Popularitas bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari proses sosial yang panjang. Horton & Wohl (1956) dalam konsep parasocial interaction menjelaskan bahwa publik membangun kedekatan semu dengan figur tertentu melalui media. Fenomena inilah yang membuat seseorang bisa dikenal luas.
Dari sisi psikologi, keinginan untuk dikenal erat kaitannya dengan kebutuhan aktualisasi diri. Maslow (1943) menyebut aktualisasi diri sebagai puncak piramida kebutuhan manusia. Individu berusaha menampilkan potensi terbaiknya agar mendapatkan pengakuan sosial, dan salah satu bentuk tertinggi dari pengakuan tersebut adalah popularitas.
Sejarah menunjukkan bahwa tokoh-tokoh besar, baik di bidang politik, seni, maupun ilmu pengetahuan, menjadi terkenal karena kontribusi dan karya nyata. Max Weber (1947) menyebut kualitas ini sebagai "karisma", yakni daya tarik luar biasa yang membuat orang lain mengakui eksistensi seseorang. Karisma dapat lahir dari integritas, kepemimpinan, atau kemampuan komunikasi.
Era digital membuat jalan menuju ketenaran semakin terbuka lebar. Media sosial memberi ruang demokratisasi popularitas. Menurut data Statista (2024), lebih dari 60% generasi muda Asia Tenggara menilai media sosial sebagai jalur tercepat untuk memperoleh popularitas. Dengan kata lain, siapa pun berpeluang untuk dikenal luas.
Meski begitu, popularitas yang hanya bertumpu pada jumlah pengikut belum tentu bertahan lama. Agenda Setting Theory (McCombs & Shaw, 1972) menegaskan bahwa media memang bisa mengarahkan perhatian publik, tetapi kualitas isi dan konsistensi yang menentukan seberapa lama seseorang bisa tetap relevan.
Langkah pertama menuju ketenaran adalah mengenali potensi diri. Teori multiple intelligences Gardner (1983) mengajarkan bahwa setiap orang memiliki kecerdasan berbeda---linguistik, musikal, interpersonal, kinestetik, dan lainnya. Keunikan inilah yang bisa menjadi pintu masuk ke ruang publik.
Setelah itu, personal branding menjadi penting. Peters (1997) menyebut personal branding sebagai seni memasarkan diri dengan menonjolkan nilai dan kelebihan. Branding yang konsisten dan autentik akan lebih mudah melekat di ingatan publik.
Selain branding, jaringan sosial (social capital) juga memegang peran penting. Bourdieu (1986) menjelaskan bahwa modal sosial memungkinkan seseorang mendapatkan akses, legitimasi, dan dukungan. Tanpa jaringan yang tepat, popularitas sulit bertahan lama.
Konsistensi adalah kunci. Bandura (1977) melalui teori pembelajaran sosial menegaskan bahwa publik menilai seseorang dari perilaku yang berulang dan konsisten. Itulah sebabnya figur publik yang tahan lama adalah mereka yang terus menghadirkan karya dan sikap yang stabil.
Namun, ketenaran juga membawa konsekuensi. Giles (2002) menemukan bahwa figur publik kerap menghadapi tekanan psikologis akibat sorotan dan ekspektasi masyarakat. Oleh karena itu, selain strategi untuk menjadi terkenal, individu juga perlu mempersiapkan ketahanan mental dan etika publik.
Di Indonesia, figur seperti Najwa Shihab menjadi contoh nyata. Popularitasnya bukan hanya karena tampil di televisi, tetapi juga karena keberanian konsisten menyuarakan isu sosial-politik. Ini menunjukkan bahwa ketenaran yang kokoh lahir dari kontribusi dan relevansi.
Dengan demikian, cara menjadi orang terkenal bukan hanya soal mencari perhatian, melainkan soal memberi nilai. Popularitas yang dibangun atas dasar karya, integritas, dan manfaat sosial akan bertahan lebih lama dibanding sekadar sensasi. Secara ilmiah, popularitas dapat dipahami sebagai proses sosial yang lahir dari kombinasi potensi individu, strategi komunikasi, dan relevansi dengan kebutuhan publik.
Referensi
Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs: Prentice-Hall.
Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In Richardson, J. (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood.
Gardner, H. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books.
Giles, D. (2002). Parasocial Interaction: A Review of the Literature and a Model for Future Research. Media Psychology, 4(3), 279--305.
Horton, D., & Wohl, R. (1956). Mass Communication and Para-Social Interaction: Observations on Intimacy at a Distance. Psychiatry, 19, 215--229.
Maslow, A. H. (1943). A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370--396.
McCombs, M., & Shaw, D. (1972). The Agenda-Setting Function of Mass Media. Public Opinion Quarterly, 36(2), 176--187.
Peters, T. (1997). The Brand Called You. Fast Company Magazine.
Statista. (2024). Social Media Usage in Southeast Asia. Hamburg: Statista Research Department.
Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford University Press.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI