Jawabannya: keduanya harus seimbang.
Sekolah harus tetap ramah anak: aman, inklusif, dan bebas kekerasan.
Tapi anak juga harus diajarkan untuk ramah pada guru: menghormati, mendengarkan, dan menerima teguran dengan rendah hati.
Gereja Katolik, dalam Catechism of the Catholic Church (KGK No. 2216), mengingatkan:
"Hormat kepada orang tua dan otoritas yang sah adalah fondasi kehidupan sosial yang sehat."Â
Demikian pula, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menegaskan bahwa pendidikan bertujuan membentuk kepribadian yang berakhlak mulia, yang tidak mungkin tercapai tanpa rasa hormat pada pendidik.
Solusi: Menuju Sekolah yang Saling Menghormati
Pertama, Revisi Narasi "Sekolah Ramah Anak". Ubah menjadi "Sekolah yang Saling Menghormati", di mana hak anak dan martabat guru sama-sama dilindungi.
Kedua, Libatkan Orang Tua dalam Pendidikan Karakter. Jadikan orang tua mitra, bukan lawan. Adakan forum dialog rutin tentang batas disiplin dan nilai-nilai bersama.
Ketiga, Perkuat Perlindungan Hukum bagi Guru. Implementasikan Permendikbud No. 10 Tahun 2017 secara nyata, termasuk pendampingan hukum gratis saat guru dilaporkan.
Keempat, Ajarkan "Hak dan Kewajiban" Secara Seimbang. Anak perlu tahu: mereka punya hak untuk dilindungi, tapi juga kewajiban untuk menghormati.
Penutup: Tanpa Rasa Hormat, Tidak Ada Pendidikan
Sekolah bisa memiliki gedung megah, kurikulum canggih, dan program ramah anak,
tapi jika di dalamnya tidak ada rasa hormat antara murid dan guru, maka itu bukan sekolah, melainkan pasar transaksi ilmu tanpa jiwa.