5. Pengeroyokan Guru di Surakarta (Februari 2025)
Seorang guru SMA dikeroyok oleh sekelompok siswa karena menegur mereka yang merokok di lingkungan sekolah. Video insiden ini viral, namun respons publik lebih fokus pada "apakah guru salah bicara?" daripada mengutuk kekerasan terhadap pendidik.
Ironi: Kekerasan kolektif siswa dianggap "wajar", sementara teguran guru dianggap provokatif.
6. Kasus di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten (Oktober 2025)
Kepala Sekolah Dini Fitria dilaporkan karena menampar pelan seorang siswa yang merokok dan berbohong. Akibatnya, ia dinonaktifkan sementara oleh Gubernur Banten, meski pelanggaran siswa jelas melanggar Permendikbud tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Ironi: Siswa yang melanggar aturan tidak dihukum, tapi guru yang menegakkan aturan justru dihukum.
Akar Masalah: Mengapa Anak Tidak Ramah pada Guru?
Pertama, Kesalahan Implementasi "Hak Anak".
Hak anak untuk dilindungi sering diartikan sebagai hak untuk tidak pernah dikoreksi. Padahal, Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 29 justru menekankan bahwa pendidikan harus mengembangkan rasa hormat terhadap hak asasi manusia, orang tua, dan nilai-nilai budaya.
Kedua, Pola Asuh Overprotektif.
Orang tua masa kini cenderung melindungi anak dari segala bentuk ketidaknyamanan, termasuk teguran. Akibatnya, anak tumbuh tanpa kemampuan menerima kritik atau konsekuensi.
Ketiga, Hilangnya Wibawa Guru di Masyarakat.
Guru tidak lagi dianggap sebagai "orang tua kedua", melainkan sebagai pekerja layanan yang harus memuaskan "pelanggan" (orang tua dan siswa). Belum lagi sekarang guru seperti mesin administratif yang harus buat laporan ini itu, belum lagi juknik dari dinas yang tiba-tiba datang seperti petir, seorang mereka berpikir: kerja guru ya untuk siswa, bukan hanya memikirkan dirinya.
Keempat, Kurangnya Pendidikan Karakter di Rumah.
Nilai seperti adab, hormat, dan tanggung jawab lebih banyak diajarkan di sekolah, sementara di rumah diabaikan. Akibatnya, sekolah menjadi satu-satunya medan pertempuran nilai, dan guru selalu kalah.