Pulau Naga Terakhir
Â
Di sebuah kantor kecil di Labuan Bajo, seorang herpetolog muda bernama Arka menatap peta laut yang usang. Di antara garis-garis biru yang menggambarkan arus Laut Sawu, ia menemukan sesuatu: sebuah pulau kecil tak bernama, bersembunyi di balik kabut dan legenda nelayan. Pulau itu, yang ia beri nama Pulau Vara, tak tercatat di peta resmi, tak pernah diinjak kaki manusia modern, dan menurut citra satelit, dipenuhi hutan kering, sumber air alami, dan tidak ada predator besar selain elang laut.
"Ini tempat yang sempurna," bisiknya, jemarinya menggoreskan tanda bintang di atas pulau itu.
Arka punya mimpi gila: mengembangbiakkan komodo di luar habitat aslinya, bukan untuk taman safari atau kebun binatang, tapi sebagai arka kehidupan terakhir, jika suatu hari Taman Nasional Komodo runtuh oleh tekanan pariwisata, perubahan iklim, atau kelangkaan mangsa.
Ia menghabiskan dua tahun meneliti, mengajukan izin, dan mengumpulkan dana dari lembaga konservasi internasional. Akhirnya, pada musim kemarau ketiga, ia berhasil membawa dua puluh ekor komodo muda, hasil penangkaran dari program KLHK, ke Pulau Vara. Mereka dilepas di zona inti yang telah dipagari alami oleh tebing curam dan arus ganas.
Awalnya, semuanya berjalan mulus. Komodo berkembang biak. Populasi rusa liar, yang sengaja dilepas lebih dulu, menjadi mangsa ideal. Arka bahagia. Ia menulis laporan harian, memotret jejak kaki raksasa di pasir, dan tidur di tenda kecil sambil mendengar desis malam yang hanya dimengerti oleh naga purba.
Tapi musim ketiga datang dengan kekeringan ekstrem. Hujan tak kunjung turun. Rumput mengering. Rusa mulai mati. Dan komodo, makhluk cerdas yang tak pernah lapar lama-lama, mulai gelisah.
Saat itulah ide gila itu muncul.
Bukan karena dendam. Bukan karena kebencian buta. Tapi karena logika ekologis yang pahit: setiap ekosistem butuh mangsa. Dan di Indonesia, ada satu "spesies" yang jumlahnya tak pernah menyusut bahkan di tengah krisis.
Koruptor.
Mereka seperti tikus: berkembang biak di bayang-bayang, menggerogoti fondasi negara, dan hampir tak pernah benar-benar punah. Bahkan ketika ditangkap, mereka sering kembali lebih licin, lebih berani.
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak, Arka menulis surat. Bukan surat biasa. Tapi surat terbuka kepada dua tokoh tertinggi di republik ini:
Kepada Yth.
Bapak Presiden Republik Indonesia
dan
Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi,
Saya, Arka Wijaya, peneliti satwa langka, dengan penuh hormat mengajukan permohonan luar biasa demi keselamatan komodo, warisan dunia yang hanya ada di Indonesia.
Di Pulau Vara, saya berhasil membangun populasi komodo mandiri. Namun, stok rusa mulai menipis akibat perubahan iklim. Sementara itu, di daratan, cadangan "mangsa alternatif" justru melimpah: para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara triliunan rupiah, merusak tata kelola, dan menghancurkan kepercayaan rakyat.
Saya mengusulkan program "Restorative Ecology":
Setelah vonis tetap, para koruptor tersebut tidak dikirim ke Lapas Sukamiskin, melainkan ke Pulau Vara, bukan sebagai hukuman mati, tapi sebagai kontribusi ekologis terakhir.
Mereka akan diberi pakaian khusus (tanpa logam, tanpa senjata), ditempatkan di zona transisi, dan dibiarkan hidup sesuai hukum alam. Jika komodo lapar, mereka akan menjadi mangsa. Jika tidak, mereka bisa bercocok tanam, bertobat, atau menulis memoar.
Ini bukan pembalasan. Ini siklus alam yang adil.
Uang yang mereka curi, dari rakyat miskin, dari dana pendidikan, dari anggaran kesehatan telah menghancurkan ekosistem sosial. Kini, tubuh mereka bisa menghidupkan ekosistem alami.
Bayangkan: Komodo tetap hidup. Negara tak perlu membiayai penjara mewah. Rakyat mendapat keadilan ekologis sekaligus simbolik.
Saya yakin, Bapak-Bapak, bahwa keadilan sejati bukan hanya di pengadilan, tapi juga di tanah, di laut, dan di perut naga yang lapar.
Hormat saya,
Arka Wijaya
Penjaga Pulau Vara
Surat itu tak pernah dibalas.
Tapi entah mengapa, sebulan kemudian, hujan turun deras di Pulau Vara. Rumput tumbuh subur. Rusa kembali berkembang biak. Dan komodo yang sempat mengintai Arka dengan tatapan tajam kini kembali tenang, berjemur di batu seperti tak pernah ada ancaman kepunahan.
Arka tersenyum. Mungkin alam sudah mendengar doanya.
Atau mungkin... surat itu sampai ke meja yang tepat.
Dan di suatu malam, ketika angin laut berhembus dari arah Jakarta, ia bersumpah mendengar suara rantai berderik diikuti desisan panjang dari balik bukit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI