Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pulau Naga Terakhir

6 Oktober 2025   08:17 Diperbarui: 6 Oktober 2025   08:17 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GrokAI, dokpri)

Mereka seperti tikus: berkembang biak di bayang-bayang, menggerogoti fondasi negara, dan hampir tak pernah benar-benar punah. Bahkan ketika ditangkap, mereka sering kembali lebih licin, lebih berani.

Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak, Arka menulis surat. Bukan surat biasa. Tapi surat terbuka kepada dua tokoh tertinggi di republik ini:

Kepada Yth.
Bapak Presiden Republik Indonesia
dan
Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi,

Saya, Arka Wijaya, peneliti satwa langka, dengan penuh hormat mengajukan permohonan luar biasa demi keselamatan komodo, warisan dunia yang hanya ada di Indonesia.

Di Pulau Vara, saya berhasil membangun populasi komodo mandiri. Namun, stok rusa mulai menipis akibat perubahan iklim. Sementara itu, di daratan, cadangan "mangsa alternatif" justru melimpah: para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara triliunan rupiah, merusak tata kelola, dan menghancurkan kepercayaan rakyat.

Saya mengusulkan program "Restorative Ecology":
Setelah vonis tetap, para koruptor tersebut tidak dikirim ke Lapas Sukamiskin, melainkan ke Pulau Vara, bukan sebagai hukuman mati, tapi sebagai kontribusi ekologis terakhir.

Mereka akan diberi pakaian khusus (tanpa logam, tanpa senjata), ditempatkan di zona transisi, dan dibiarkan hidup sesuai hukum alam. Jika komodo lapar, mereka akan menjadi mangsa. Jika tidak, mereka bisa bercocok tanam, bertobat, atau menulis memoar.

Ini bukan pembalasan. Ini siklus alam yang adil.
Uang yang mereka curi, dari rakyat miskin, dari dana pendidikan, dari anggaran kesehatan telah menghancurkan ekosistem sosial. Kini, tubuh mereka bisa menghidupkan ekosistem alami.

Bayangkan: Komodo tetap hidup. Negara tak perlu membiayai penjara mewah. Rakyat mendapat keadilan ekologis sekaligus simbolik.

Saya yakin, Bapak-Bapak, bahwa keadilan sejati bukan hanya di pengadilan, tapi juga di tanah, di laut, dan di perut naga yang lapar.

Hormat saya,
Arka Wijaya
Penjaga Pulau Vara

Surat itu tak pernah dibalas.

Tapi entah mengapa, sebulan kemudian, hujan turun deras di Pulau Vara. Rumput tumbuh subur. Rusa kembali berkembang biak. Dan komodo yang sempat mengintai Arka dengan tatapan tajam kini kembali tenang, berjemur di batu seperti tak pernah ada ancaman kepunahan.

Arka tersenyum. Mungkin alam sudah mendengar doanya.
Atau mungkin... surat itu sampai ke meja yang tepat.

Dan di suatu malam, ketika angin laut berhembus dari arah Jakarta, ia bersumpah mendengar suara rantai berderik diikuti desisan panjang dari balik bukit.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun