Penasaran mereka bukan sekadar akademis, ia bersifat eksistensial. Mereka bertanya: Jika negara dulu bisa membunuh rakyatnya sendiri atas nama ideologi, apakah hari ini negara bisa membunuh kami atas nama stabilitas, investasi, atau keamanan? Pertanyaan ini lahir dari pengalaman hidup mereka: kriminalisasi aktivis, pembungkaman kritik, dan normalisasi ketimpangan.
Filosofi yang Hilang: Pancasila sebagai Etika, Bukan Slogan
Di tengah dua kutub ini (elit yang lupa dan generasi muda yang mencari) terletak inti filosofis yang sering diabaikan: Pancasila bukan jimat yang "sakti" begitu saja. Ia tidak bekerja secara magis. "Kesaktiannya" hanya muncul ketika diwujudkan dalam tindakan nyata: keadilan dalam kebijakan, kemanusiaan dalam penegakan hukum, dan musyawarah dalam pengambilan keputusan.
Tanpa itu, Hari Kesaktian Pancasila hanyalah perayaan ironi: merayakan nilai yang justru diinjak-injak oleh para perayanya sendiri.
Penutup: Antara Ritual dan Revolusi Ingatan
1 Oktober boleh berlalu, tapi pertanyaan tentang makna Pancasila harus terus hidup.
Bagi pejabat: jangan biarkan hari ini jadi topeng untuk menutupi pengkhianatan terhadap rakyat.
Bagi Generasi Z: jangan biarkan rasa penasaran berhenti pada kritik; ubahlah menjadi gerakan untuk keadilan sejarah dan keadilan sosial.
Sebab, Pancasila tidak akan pernah sakti selama masih ada rakyat yang menderita dalam diam.
Dan bangsa ini tidak akan pernah merdeka selama sejarahnya masih dikubur dalam ketakutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI