Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Hari Kesaktian Pancasila dalam Dua Cermin: Amnesia Elit dan Rasa Penasaran yang Terlambat

1 Oktober 2025   22:59 Diperbarui: 1 Oktober 2025   22:59 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Kesaktian Pancasila dalam Dua Cermin: Amnesia Elit dan Rasa Penasaran yang Terlambat

Tanggal 1 Oktober hampir berlalu. Upacara selesai, bendera dikibarkan penuh kembali, pidato pejabat disimpan dalam arsip, dan media beralih ke isu viral berikutnya. Tapi pertanyaan mendasar menggema dalam sunyi: Apakah "Kesaktian Pancasila" masih hidup atau hanya jadi ritual kosong yang diulang tanpa jiwa?

Jawabannya terbelah dalam dua cermin yang saling memantul: di satu sisi, amnesia moral para pejabat koruptif; di sisi lain, rasa penasaran kritis Generasi Z yang lahir jauh dari tahun 1965 namun tak bisa lepas dari bayangannya.

Pejabat Koruptif: Ketika "Kesaktian" Jadi Topeng Kosong

Secara filosofis, "kesaktian" mengandaikan kekuatan transenden yang melindungi nilai luhur dari kehancuran. Tapi dalam praktiknya, Hari Kesaktian Pancasila yang lahir dari narasi kemenangan atas "pengkhianatan komunis" telah direduksi menjadi simbol kepatuhan formal, bukan komitmen etis.

Bagi banyak pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi sistemik, Pancasila bukan lagi pedoman hidup berbangsa, melainkan alat legitimasi. Mereka mengutip sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" di podium, sementara di balik layar, mereka menguras dana pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial untuk memperkaya diri. Ini adalah bentuk disosiasi kognitif: kemampuan psikologis untuk memisahkan tindakan dari nilai yang diakuinya.

Psikolog sosial menyebut fenomena ini sebagai moral disengagement, mekanisme mental yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan tidak etis tanpa merasa bersalah. Caranya? Dengan mendehumanisasi korban ("rakyat tetap dapat jatah, kok"), menyalahkan sistem ("semua juga begini"), atau mengalihkan makna ("saya korupsi demi keluarga").

Dalam konteks ini, Hari Kesaktian Pancasila bukan hari refleksi, melainkan hari penyamaran. Ia menjadi panggung di mana elite menampilkan diri sebagai pewaris nilai luhur, padahal mereka justru mengkhianati esensi Pancasila itu sendiri: keadilan, kemanusiaan, dan kebersamaan.

Generasi Z: Penasaran yang Lahir dari Kehampaan Sejarah

Di sisi lain, Generasi Z (yang lahir di era digital, jauh dari trauma 1965) justru mulai merasa penasaran. Bukan karena nostalgia, tapi karena kecurigaan. Mereka tumbuh dengan narasi resmi yang terasa kaku, kontradiktif, dan penuh kehampaan. Film G30S/PKI yang pernah wajib ditonton kini jadi bahan meme; monumen Lubang Buaya jadi latar foto aesthetic, bukan tempat ziarah sakral.

Tapi di balik ironi itu, tumbuh pertanyaan filosofis: Mengapa sejarah diajarkan sebagai dogma, bukan dialog? Mengapa korban hanya dihitung dari satu sisi?

Secara psikologis, Generasi Z hidup dalam krisis makna historis. Mereka diberi versi sejarah yang tidak menjawab rasa adil mereka. Mereka tahu bahwa jutaan orang dibunuh tanpa proses, tapi tidak diajari mengapa itu terjadi, apalagi bagaimana mencegahnya terulang. Akibatnya, mereka mencari sendiri: lewat podcast, dokumenter, arsip digital, atau diskusi daring. Mereka tidak percaya pada otoritas tunggal; mereka percaya pada verifikasi kolektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun