Hari Kesaktian Pancasila dalam Dua Cermin: Amnesia Elit dan Rasa Penasaran yang Terlambat
Tanggal 1 Oktober hampir berlalu. Upacara selesai, bendera dikibarkan penuh kembali, pidato pejabat disimpan dalam arsip, dan media beralih ke isu viral berikutnya. Tapi pertanyaan mendasar menggema dalam sunyi: Apakah "Kesaktian Pancasila" masih hidup atau hanya jadi ritual kosong yang diulang tanpa jiwa?
Jawabannya terbelah dalam dua cermin yang saling memantul: di satu sisi, amnesia moral para pejabat koruptif; di sisi lain, rasa penasaran kritis Generasi Z yang lahir jauh dari tahun 1965 namun tak bisa lepas dari bayangannya.
Pejabat Koruptif: Ketika "Kesaktian" Jadi Topeng Kosong
Secara filosofis, "kesaktian" mengandaikan kekuatan transenden yang melindungi nilai luhur dari kehancuran. Tapi dalam praktiknya, Hari Kesaktian Pancasila yang lahir dari narasi kemenangan atas "pengkhianatan komunis" telah direduksi menjadi simbol kepatuhan formal, bukan komitmen etis.
Bagi banyak pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi sistemik, Pancasila bukan lagi pedoman hidup berbangsa, melainkan alat legitimasi. Mereka mengutip sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" di podium, sementara di balik layar, mereka menguras dana pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial untuk memperkaya diri. Ini adalah bentuk disosiasi kognitif: kemampuan psikologis untuk memisahkan tindakan dari nilai yang diakuinya.
Psikolog sosial menyebut fenomena ini sebagai moral disengagement, mekanisme mental yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan tidak etis tanpa merasa bersalah. Caranya? Dengan mendehumanisasi korban ("rakyat tetap dapat jatah, kok"), menyalahkan sistem ("semua juga begini"), atau mengalihkan makna ("saya korupsi demi keluarga").
Dalam konteks ini, Hari Kesaktian Pancasila bukan hari refleksi, melainkan hari penyamaran. Ia menjadi panggung di mana elite menampilkan diri sebagai pewaris nilai luhur, padahal mereka justru mengkhianati esensi Pancasila itu sendiri: keadilan, kemanusiaan, dan kebersamaan.
Generasi Z: Penasaran yang Lahir dari Kehampaan Sejarah
Di sisi lain, Generasi Z (yang lahir di era digital, jauh dari trauma 1965) justru mulai merasa penasaran. Bukan karena nostalgia, tapi karena kecurigaan. Mereka tumbuh dengan narasi resmi yang terasa kaku, kontradiktif, dan penuh kehampaan. Film G30S/PKI yang pernah wajib ditonton kini jadi bahan meme; monumen Lubang Buaya jadi latar foto aesthetic, bukan tempat ziarah sakral.
Tapi di balik ironi itu, tumbuh pertanyaan filosofis: Mengapa sejarah diajarkan sebagai dogma, bukan dialog? Mengapa korban hanya dihitung dari satu sisi?
Secara psikologis, Generasi Z hidup dalam krisis makna historis. Mereka diberi versi sejarah yang tidak menjawab rasa adil mereka. Mereka tahu bahwa jutaan orang dibunuh tanpa proses, tapi tidak diajari mengapa itu terjadi, apalagi bagaimana mencegahnya terulang. Akibatnya, mereka mencari sendiri: lewat podcast, dokumenter, arsip digital, atau diskusi daring. Mereka tidak percaya pada otoritas tunggal; mereka percaya pada verifikasi kolektif.
Penasaran mereka bukan sekadar akademis, ia bersifat eksistensial. Mereka bertanya: Jika negara dulu bisa membunuh rakyatnya sendiri atas nama ideologi, apakah hari ini negara bisa membunuh kami atas nama stabilitas, investasi, atau keamanan? Pertanyaan ini lahir dari pengalaman hidup mereka: kriminalisasi aktivis, pembungkaman kritik, dan normalisasi ketimpangan.
Filosofi yang Hilang: Pancasila sebagai Etika, Bukan Slogan
Di tengah dua kutub ini (elit yang lupa dan generasi muda yang mencari) terletak inti filosofis yang sering diabaikan: Pancasila bukan jimat yang "sakti" begitu saja. Ia tidak bekerja secara magis. "Kesaktiannya" hanya muncul ketika diwujudkan dalam tindakan nyata: keadilan dalam kebijakan, kemanusiaan dalam penegakan hukum, dan musyawarah dalam pengambilan keputusan.
Tanpa itu, Hari Kesaktian Pancasila hanyalah perayaan ironi: merayakan nilai yang justru diinjak-injak oleh para perayanya sendiri.
Penutup: Antara Ritual dan Revolusi Ingatan
1 Oktober boleh berlalu, tapi pertanyaan tentang makna Pancasila harus terus hidup.
Bagi pejabat: jangan biarkan hari ini jadi topeng untuk menutupi pengkhianatan terhadap rakyat.
Bagi Generasi Z: jangan biarkan rasa penasaran berhenti pada kritik; ubahlah menjadi gerakan untuk keadilan sejarah dan keadilan sosial.
Sebab, Pancasila tidak akan pernah sakti selama masih ada rakyat yang menderita dalam diam.
Dan bangsa ini tidak akan pernah merdeka selama sejarahnya masih dikubur dalam ketakutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI