Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

KEKUASAAN KATA [6] Diary, Tempat Bersandar Saat Dunia Tak Mau Mendengar

19 September 2025   18:16 Diperbarui: 19 September 2025   18:16 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEKUASAAN KATA [6]: Diary, Tempat Bersandar Saat Dunia Tak Mau Mendengar

Namanya Viviane. Umur 24 tahun. Bekerja di kantor pemasaran yang serba cepat, serba keras, serba "deadline dulu, perasaan belakangan". Di luar, ia tampak tegar, selalu tersenyum saat rapat, cepat membalas email, tak pernah protes meski lembur sampai jam 9 malam. Tapi di dalam? Di dalam, ia sering menangis diam-diam di toilet lantai 3.

Viviane tak punya tempat curhat. Teman dekatnya sudah sibuk dengan pacar dan karier. Ibunya di kampung tak paham istilah "burnout" atau "anxiety". Ayahnya? Sudah tiada sejak ia SMA dan sampai sekarang, ia belum sempat bilang, "Aku rindu kamu, Yah."

Lalu, suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota dan ia duduk sendirian di kostnya yang sempit, Viviane menemukan sebuah buku diary lama, hadiah ulang tahun dari almarhum ayahnya, yang belum pernah ia buka.

Dengan tangan gemetar, ia membuka halaman pertama. Kosong. Putih. Seperti hatinya yang sering terasa hampa.

Ia ambil pulpen. Dan menulis tanpa dipikir, tanpa diedit, tanpa takut salah:

"Aku lelah, Yah. Aku capek pura-pura kuat. Aku rindu kamu. Aku rindu dipeluk tanpa harus bilang 'aku butuh pelukan'. Aku rindu didengar tanpa harus berteriak. Kenapa kamu pergi dulu? Aku belum selesai belajar jadi anakmu..."

Air matanya jatuh, mengotori tinta. Tapi anehnya, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa lega. Seperti ada beban yang diturunkan dari pundaknya. Seperti ada ruang di dadanya yang akhirnya bisa bernapas.

Sejak malam itu, Viviane tak pernah berhenti menulis di diary-nya.

Menulis Bukan untuk Dibaca Orang Lain, Tapi untuk Dirinya Sendiri yang Terluka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun