Bendera Topi Jerami dan Suara yang Tak Bisa Dibungkam
Â
Pada suatu pagi di akhir Agustus 2025, di tengah teriknya Jakarta, seorang remaja berusia 19 tahun berdiri di depan gedung parlemen dengan bendera hitam bertuliskan tengkorak dan topi jerami. Ia bukan bajak laut. Ia bukan bagian dari film. Ia hanyalah mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, anak dari seorang penjual nasi goreng keliling. Tapi hari itu, ia membawa simbol yang lebih besar daripada dirinya sendiri: bendera One Piece, bendera Monkey D. Luffy, pahlawan fiksi yang melawan tirani dalam dunia animasi, kini menjadi panji nyata bagi ribuan anak muda yang menolak diam.
Di Nepal, Prancis, Timor Leste, dan Filipina, bendera serupa berkibar. Di Kathmandu, pemuda memegangnya sambil menangis di tengah asap gas air mata. Di Paris, bocah SMA mengibarkannya di balkon sekolah sebagai bentuk protes terhadap pemotongan anggaran pendidikan. Di Dili, mahasiswa menggantungnya di gerbang universitas sambil menyuarakan penolakan atas pembelian mobil dinas mewah untuk anggota parlemen. Semua ini bukan kebetulan. Ini adalah bahasa baru perlawanan, bahasa yang tidak ditulis dalam manifesto politik, tapi dalam meme, video TikTok, dan ilustrasi digital yang tersebar seperti api di musim kemarau.
Generasi Z, generasi yang lahir setelah tahun 1997, sedang menulis ulang sejarah aktivisme. Mereka bukan lagi hanya "anak-anak muda yang marah di media sosial." Mereka adalah arsitek gerakan sosial lintas batas yang menggunakan empati sebagai senjata, budaya pop sebagai alat penerjemah, dan internet sebagai jalan raya revolusi. Dan yang paling mencengangkan: mereka berhasil menyatukan isu-isu yang selama ini dipisahkan oleh tembok ideologi, agama, dan negara.
Inklusivitas: Bukan Hanya Tentang Siapa yang Ikut, Tapi Bagaimana Mereka Diajak
Apa yang membuat aktivisme Gen Z berbeda? Jawabannya bukan pada keberanian mereka turun ke jalan, generasi sebelumnya juga pernah melakukan itu. Bukan pula pada jumlah peserta, meskipun angkanya besar. Yang membedakan adalah inklusivitas sebagai prinsip dasar, bukan sekadar slogan.
Anak-anak muda ini tidak meminta Anda jadi aktivis profesional untuk bergabung. Mereka berkata: "Jika kamu peduli, kamu bagian dari kami." Tidak perlu kartu tanda anggota. Tidak perlu ikrar setia. Cukup klik, share, donasi, atau unggah foto dengan filter kampanye. Mereka tahu bahwa dunia modern tidak lagi dibagi antara "aktivis" dan "bukan aktivis", tapi antara "peduli" dan "tidak peduli".
Di Indonesia, ketika isu korupsi dan gaji pejabat mencuat, mereka tidak hanya menyerang dari sudut ekonomi. Mereka menyambungkannya dengan isu gender, lingkungan, dan hak digital. Sebuah poster viral menunjukkan wajah pejabat diganti dengan karakter anime laki-laki yang hidup mewah, dikelilingi istri-istri virtual, sementara rakyat digambarkan sebagai karakter perempuan yang bekerja di tambang karbon. Simbol ini langsung dimengerti oleh jutaan orang tanpa perlu teks panjang.
Ini adalah aktivisme yang estetis, namun tetap radikal. Mereka menggunakan warna-warna cerah, font-font retro, dan referensi anime bukan karena main-main, tapi karena itulah bahasa ibu mereka. Bahasa yang bisa menembus filter informasi, yang bisa membuat orang tua tersenyum sekaligus merenung.
Dari Layar ke Jalanan: Revolusi Hybrid yang Tak Terduga
Banyak yang meragukan: apakah aktivisme digital benar-benar bisa mengubah dunia? Apakah like dan retweet cukup untuk menjatuhkan rezim?