Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

KEKUASAAN KATA [1]: Menjejakkan Kenangan, Mengakarkan Kepedulian, Memeluk Persaudaraan dalam Uluran Tangan yang Meneguhkan

16 September 2025   21:43 Diperbarui: 16 September 2025   21:43 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Gemini.AI, dokpri)

KEKUASAAN KATA (1): Menjejakkan Kenangan, Mengakarkan Kepedulian, Memeluk Persaudaraan dalam Uluran Tangan yang Meneguhkan

Selama sebulan penuh di bulan Agustus, saya menulis. Setiap pagi, kadang tengah malam, kadang di sela hujan yang memeluk jendela kamar, kadang di sela siswa mencatat ringkasan, kadang saat siswa tidak masuk di jam pelajaran, kadang sepulang sekolah sebelum merebahkan diri sejenak karena lelah, saya mengetik. Di Kompasiana, saya mengirim satu demi satu tulisan (jika sedang "gila" sehari bisa menulis lima artikel, jika sedang lesu pikir sehari cukup dua: pagi dan malam). Tidak satu pun yang lolos jadi artikel utama. Tidak ada bintang, tidak ada notifikasi khusus, tidak ada lonjakan klik yang membuat jantung berdebar. Dan saya... santai saja.

Bukan karena saya tak peduli. Bukan pula karena saya tak ingin tulisan saya dibaca. Hanya saja, saya tahu: bukan itu yang saya cari dalam menulis.

Saya menulis bukan untuk diangkat ke puncak, tapi untuk menjemput yang terjatuh.
Saya menulis bukan untuk dipuji, tapi untuk dipahami.
Saya menulis bukan untuk viral, tapi untuk vital: bagi jiwa yang lelah, bagi hati yang retak, bagi pikiran yang buntu.

Menulis, bagi saya, adalah cara menjelajahi kembali jejak-jejak yang pernah saya injak, lalu menggenggamnya erat, dan meletakkannya di tanah baru: agar orang lain bisa merasakan hangatnya tapak kaki yang sama. Menulis adalah menjejakkan kenangan. Bukan kenangan yang harus diabadikan dalam bingkai emas, tapi kenangan yang bisa jadi pijakan: saat saya gagal, saat saya menangis di toilet kantor, saat saya pernah pontang panting membawa orderan online yang meski sudah berusaha sebaik mungkin masih kena omelan bahkan bintang satu yang menurunkan perfoma, saat saya duduk di pinggir rel kereta hanya untuk mendengar suara yang bukan suara manusia, suara sepi yang jujur.

Dan dari jejak-jejak itu, saya menanam kepedulian. Saya mengakarkannya. Seperti pohon beringin yang akarnya menjalar jauh ke bawah tanah, tak terlihat, tapi menjadi jaring penghidup bagi seluruh ekosistem di atasnya. Menulis adalah cara saya menyuarakan hal-hal yang tak bersuara: jerit buruh yang gajinya tak cukup untuk nasi dan obat, tangis anak yang tak punya teman bicara selain layar ponsel, doa ibu yang diam-diam menangis di dapur karena tak tahu harus ke mana lagi meminta pertolongan. Atau gerutuan guru ketika pengorbanannya tidak dianggap, malah disebut sebagai beban negara.

Saya tidak butuh viral. Saya butuh resonansi.
Saya tidak butuh trending. Saya butuh menyentuh.

***

Ada kekuasaan dalam kata. Bukan kekuasaan yang memerintah, tapi kekuasaan yang memeluk. Bukan kekuasaan yang menghakimi, tapi kekuasaan yang memaafkan. Bukan kekuasaan yang menghancurkan, tapi kekuasaan yang meneguhkan.

Saya percaya, kata-kata yang ditulis dengan sepenuh hati (meski hanya dibaca oleh tiga orang) bisa menjadi pintu keluar bagi seseorang yang sedang terjebak dalam ruang gelap tanpa jendela. Saya pernah membaca puisi sederhana di blog seorang remaja, hanya tiga bait, tapi membuat saya menangis di halte bus. [Saya bahkan pernah begitu terharu ketika dua remaja SMP di Bandung yang berterima kasih atas buku saya berjudul: Persahabatan Sejati yang diterbitkan oleh Amara Books. Menurut mereka, kata-kata dalam buku itu sangat menyentuh jiwa remaja mereka. Saya bersyukur hingga saat ini masih berelasi baik meski belum sekalipun bertemu (sudah lebih dari 15 tahun)] Itu bukan puisi pemenang lomba. Itu puisi pemenang hati. Dan hati, lebih berharga dari trofi.

Kata adalah tangan. Ya, tangan. Bukan tangan yang menampar, tapi tangan yang mengulur. Tangan yang menepuk pundak. Tangan yang menggenggam erat saat dunia terasa runtuh. Saya menulis agar kata-kata saya bisa menjadi tangan bagi siapa saja yang merasa sendiri di tengah keramaian, yang merasa salah di tengah dunia yang sok benar, yang merasa lemah di tengah tuntutan untuk selalu kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun