Hari Kelahiran Santa Perawan Maria
(Makna Kateketis, Penyerahan Diri, dan Kenangan Ayahanda di Era Digital)
Hari ini, Gereja Katolik merayakan Hari Kelahiran Santa Perawan Maria, bukan hanya sebagai peringatan historis, tetapi sebagai perayaan iman yang penuh makna teologis dan spiritual. Kelahiran Maria tidak termaktub secara langsung dalam Kitab Suci, namun Gereja telah merayakannya sejak abad ke-7, terutama melalui tradisi Timur dan kemudian diterima secara universal.
Perayaan ini mengungkapkan keyakinan iman bahwa Allah telah mempersiapkan seorang perempuan kudus untuk menjadi Bunda Sang Mesias, tempat perjumpaan antara surga dan dunia, antara Allah dan manusia.
Makna Kateketis Kelahiran Santa Perawan Maria
Dalam ajaran Gereja Katolik, kelahiran Maria bukan sekadar awal kehidupan seorang wanita suci, tetapi tanda awal penyelenggaraan ilahi yang penuh kasih. Maria adalah "Sion baru", "Bunda Gereja", dan "Anugerah yang dipersiapkan sejak kekekalan" (lih. Lumen Gentium 53). Ia dilahirkan dalam keadaan tanpa noda dosa asal, iman ini dinyatakan secara dogmatis dalam Dogma Kekalahan Dosa Asal Maria (1854) oleh Paus Pius IX. Artinya, sejak awal keberadaannya, Maria telah dipenuhi anugerah Allah, dipilih dan dipersiapkan untuk menjadi "Sponsa Dei", mempelai Allah, yang akan melahirkan Sabda yang menjadi manusia.
"Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya." (Efesus 1:4)
Maria adalah gambar awal dari apa yang dikehendaki Allah bagi seluruh umat-Nya: hidup dalam kekudusan, penuh rahmat, dan sepenuhnya dipersembahkan bagi kehendak Ilahi.
Perayaan kelahiran Maria mengajarkan kita bahwa Allah selalu bekerja sebelum kita menyadari panggilan kita. Ia mempersiapkan jalan, bahkan sejak awal kehidupan. Seperti Maria, kita juga dipanggil untuk menjadi tempat kediaman Allah, bukan hanya secara fisik, tetapi dalam hati, pikiran, dan seluruh hidup kita.
Teladan Penyerahan Diri dan Ketaatan Iman
Maria tidak hanya dipilih karena kekudusannya, tetapi karena kerelaannya berkata "ya". Dalam tradisi Katolik, Maria bukan hanya Bunda Yesus, tetapi juga Bunda Iman, teladan umat beriman yang mendengarkan Firman dan melaksanakannya (lih. Lukas 11:28).
Kata "Fiat"-nya: "Jadilah padaku menurut perkataanmu"Â adalah puncak dari iman yang aktif, penuh kerendahan hati, dan penyerahan total. Ia tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tetapi ia percaya bahwa Allah yang memanggilnya, akan menyertai dia.
Di era digital, di mana kita dibanjiri informasi, tawaran, dan tekanan sosial, mendengarkan kehendak Allah menjadi semakin menantang, namun juga semakin penting. Kehendak Allah tidak selalu datang dalam kilat atau suara dari langit. Ia hadir:
Dalam keheningan doa pagi, saat kita membuka aplikasi renungan harian. Dalam pesan dari sahabat yang tiba-tiba mengingatkan kita untuk kembali ke iman. Dalam video khotbah yang kita tonton saat sedang merasa hampa. Dalam kenangan yang muncul saat kita melihat foto lama di galeri ponsel, seperti foto almarhum ayahanda kita. Ya, bahkan dalam duka dan kerinduan, Allah berbicara. Ia mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya soal yang terlihat, tetapi tentang yang kekal.