Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[media] Menyalakan Harapan di Tengah Badai, Bersama Media yang Berintegritas

1 September 2025   21:30 Diperbarui: 1 September 2025   20:40 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Grok AI, dokpri)

Kami bukan hantu yang datang membawa malapetaka,
kami adalah bayangan dari janji yang tak ditepati.

Kami bukan anarkis,
kami adalah anak-anak yang belajar bahwa hukum
bisa dibeli,
bahwa keadilan bisa dijual,
dan bahwa suara kami dianggap sampah.

Kami turun bukan karena benci,
tapi karena cinta yang terlalu besar
untuk dibiarkan diam.

Jika kau melihat kami membawa api,
ketahuilah:
itu bukan untuk membakar,
tapi untuk mencairkan dinginnya ketidakpedulian.

Kami bukan hantu.
Kami manusia.
Dan kami masih berharap.

(olahan GrokAI, dokpri)
(olahan GrokAI, dokpri)

Media: Lentera atau Kabut?

Media adalah jembatan. Ia bisa menghubungkan suara mahasiswa dengan seluruh negeri, bahkan dunia. Saat aksi menolak revisi UU KPK 2019 digelar, liputan media dan kampanye digital membawa isu itu ke panggung global. Foto-foto mahasiswa yang terluka, video rekaman gas air mata, dan narasi tajam dari jurnalis independen membuat dunia tahu: ini bukan kerusuhan, ini adalah perlawanan moral.

Tapi media juga adalah pedang bermata dua. Saat media hanya menampilkan halte terbakar, tanpa menjelaskan tuntutan di baliknya, maka yang terlihat bukan perjuangan, tapi kekacauan. Saat media lebih memilih klik daripada kebenaran, maka mahasiswa bukan lagi pahlawan, tapi pelaku kriminal. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat bahwa pada 2019, ribuan hoaks beredar di media sosial; narasi palsu yang menyebut mahasiswa dibayar, atau disusupi asing, atau ingin menggulingkan pemerintah. Itu bukan sekadar informasi salah. Itu adalah perang narasi.

Di sinilah peran literasi menjadi penting. Mahasiswa harus belajar bukan hanya turun ke jalan, tapi juga menguasai ruang digital. Mereka harus bisa membuat konten yang kuat, menyampaikan argumen berbasis data, dan membongkar hoaks dengan fakta. Platform seperti X (dulu Twitter) bisa menjadi senjata ampuh untuk klarifikasi, untuk dokumentasi, untuk menyuarakan kebenaran langsung dari sumbernya.

Tapi lebih dari itu, mahasiswa harus bekerja sama dengan media yang berintegritas. Dengan jurnalis yang masih percaya pada fakta, seperti Veronica Guerin yang rela mati demi mengungkap jaringan narkoba. Dengan pers mahasiswa yang setia menjadi penjaga kebenaran di kampus. Media bukan musuh. Ia adalah sekutu jika digunakan dengan bijak.

Menyalakan Cahaya, Bukan Kobaran Api

Perjuangan sejati tidak harus menghancurkan. Ada banyak cara untuk menyuarakan keadilan tanpa merusak warisan rakyat: Aksi duduk damai yang penuh makna, Mogok akademik dengan narasi yang tajam, Kampanye digital yang menggugah kesadaran, Dialog terbuka dengan pemangku kebijakan, Puasa solidaritas sebagai simbol duka atas ketidakadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun