Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[media] Menyalakan Harapan di Tengah Badai, Bersama Media yang Berintegritas

1 September 2025   21:30 Diperbarui: 1 September 2025   20:40 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Grok AI, dokpri)

Menyalakan Harapan di Tengah Badai, Bersama Media yang Berintegritas

Di tengah hiruk-pikuk disinformasi dan bayang-bayang provokasi, suara mahasiswa kembali bergema. Bukan sekadar teriakan di jalan, tapi panggilan moral dari generasi yang menolak diam. Mereka bukan perusuh, mereka penjaga harapan. Namun, di ujung jari mereka, ada pilihan: menjadi api yang membakar atau cahaya yang menerangi. Di sinilah perjuangan sejati dimulai.

Api di Ujung Jari

Di bawah langit Jakarta yang kelam,
seorang mahasiswa menulis di layar ponselnya,
seperti dulu ia menulis di dinding kampus
dengan darah rasa, bukan tinta.

Tangannya gemetar, bukan karena takut,
tapi karena tahu:
setiap kata bisa menjadi obor,
atau batu yang menghancurkan.

Ia bukan pahlawan yang diukir di monumen,
tapi suara yang tak pernah diam,
meski dunia memilih berpaling.

Ia adalah cahaya
yang lahir dari gelap,
dan menolak padam.

Suara yang Tak Pernah Tidur

Di setiap era, ada satu suara yang tak pernah tidur: suara mahasiswa. Dari Sumpah Pemuda 1928 yang mempersatukan bangsa dalam semangat pemuda, hingga Reformasi 1998 yang mengguncang istana kekuasaan, mereka selalu hadir bukan sebagai penonton, tapi sebagai pelaku sejarah. Hari ini, ketika ketidakadilan kembali menguat, ketika rakyat kecil terjepit oleh kebijakan yang tak berpihak, suara itu kembali bergema. Tapi kali ini, medannya lebih rumit: di tengah badai disinformasi, penyusup yang menginginkan kekacauan, dan media yang bisa menjadi lentera atau kabut, mahasiswa dipanggil bukan hanya untuk bersuara, tapi untuk menjadi cahaya.

Api di Tengah Badai

Mahasiswa bukanlah mesin emosional yang hanya hidup dari kemarahan. Mereka adalah anak-anak bangsa yang turun ke jalan karena cinta: cinta pada rakyat kecil, pada keadilan, pada masa depan yang lebih terang. Aksi-aksi besar seperti protes terhadap Omnibus Law 2020 atau penolakan revisi UU KPK bukanlah kerusuhan tanpa arah, melainkan jeritan hati dari generasi yang menolak diam menyaksikan negaranya digerogoti korupsi dan ketimpangan.

Namun, di antara lautan massa yang bergerak dengan tulus, selalu ada bayang-bayang gelap: provokator. Mereka bukan mahasiswa, bukan rakyat, bukan pula pembela kebenaran. Mereka datang dengan misi sederhana: mengubah api perjuangan menjadi asap kekacauan. Mereka yang melempar batu, membakar halte, merusak stasiun KRL, bukan bagian dari gerakan; mereka adalah parasit yang memakan momentum dari idealisme orang lain.

Ironisnya, fasilitas yang hancur bukan milik penguasa, tapi milik rakyat miskin yang setiap hari berjalan kaki karena angkutan umum terbakar, yang kehilangan mata pencaharian karena pasar rusak, yang tak bisa mengantar anak ke sekolah karena jembatan penyeberangan dihancurkan. Padahal, mahasiswa turun justru untuk membela mereka. Kini, perjuangan yang mulia tercoreng oleh narasi: "Mahasiswa = perusuh."

Di sinilah letak ujian sejati. Bukan menyerah. Bukan diam. Tapi bertindak dengan kecerdasan dan tanggung jawab. Perubahan sejati tidak diukur dari seberapa besar gedung yang dibakar, tapi dari seberapa dalam hati rakyat yang tersentuh. Seperti kata Sutan Syahrir, "Hidup yang tidak dipertaruhkan adalah hidup yang tidak akan pernah dimenangkan." Tapi pertaruhan itu harus punya arah, punya akal, punya hati.

Kami Bukan Hantu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun