Dari Kereta ke Pelaminan
Pagi itu, langit Madiun masih memerah seperti kain batik yang baru dicelup. Udara pagi berbau tanah basah dan asap kereta uap yang belum sepenuhnya hilang dari rel. Di peron Stasiun Madiun, seorang perempuan muda berdiri memeluk tas kecil, matanya mengantuk, tapi hatinya gelisah. Namanya Alya, mahasiswi Sastra Jawa di Universitas Negeri Surabaya, pulang ke Purwokerto untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Ia berdiri di ujung peron, menunggu KA Probowangi yang akan membawanya melintasi pegunungan Kendeng, melewati sawah-sawah yang menghijau, menuju kampung halaman.
Kereta tiba. Pintu terbuka. Orang-orang berdesak-desakan keluar dan masuk. Alya berhasil masuk ke gerbong ekonomi, tapi kursi sudah hampir penuh. Ia berdiri di dekat pintu, memegang tiang besi, sambil menatap sekeliling. Di kursi prioritas, duduk seorang pria muda dengan kacamata tipis, buku terbuka di pangkuannya, Sastrawan dan Perlawanan karya Goenawan Mohamad. Ia tampak tenang, seperti orang yang sedang membaca dunianya sendiri.
Tak lama, seorang ibu tua naik ke gerbong. Rambutnya putih, bahunya bungkuk, tangannya bergetar memegang tas anyaman. Ia berdiri di lorong, mencari tempat berpegangan. Pria muda dengan kacamata itu mengangkat kepala. Matanya menatap ibu tua itu sejenak. Lalu, tanpa banyak kata, ia berdiri.
"Silakan, Bu. Silakan duduk."
Ibu itu terkejut. "Ah, tidak usah, nak. Kamu juga muda, kamu butuh istirahat."
"Saya kuat, Bu. Nanti turun di Purwokerto juga masih jauh. Tapi Ibu lebih butuh."
Alya tersenyum. Ia melihat pria itu dengan kagum. Ia mencatat dalam hati: baik, tenang, suka baca buku. Dan punya hati.
Pria itu (Raka) duduk di lantai, bersila, sambil tetap membaca bukunya. Alya berdiri di dekatnya. Ia ingin bicara, tapi ragu. Sampai akhirnya, saat kereta berhenti di Stasiun Kediri, Raka mengangkat muka.