Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[pendidikan] Pelita yang Menyembuhkan

25 Agustus 2025   09:54 Diperbarui: 25 Agustus 2025   13:55 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelita yang Menyembuhkan

 

Ia menatap dunia dengan mata bening:
bagaikan bulan yang tak pernah memungkir cahaya,
melihat luka yang tersembunyi di balik senyum,
luka yang bahkan bayangan pun enggan menyentuh.

Mimpi kecilnya tumbuh bukan dari tanah subur,
tapi dari tetes air mata orang asing yang jatuh di sudut kamar sunyi,
air mata yang membekas seperti bintang jatuh,
dan dari sanalah ia belajar: cahaya lahir dari duka.

Ia ingin jadi pelita: bukan sekadar nyala,
melainkan obor yang tak pernah padam di badai kesakitan,
yang menari lembut di tepi ranjang penuh rintih,
menyulam harapan dari benang-benang keheningan.

Di ruang sunyi yang berbisik doa dan bau obat,
ia berjanji: bukan hanya tulang dan daging yang ia rawat,
tapi juga jiwa yang retak bagai kaca beku,
yang butuh hangat bukan hanya dari selimut,
tapi dari suara yang berkata, "Kau tak sendiri."

Tak peduli malam panjang menggulung waktu,
atau letih merayap seperti bayangan panjang di dinding,
ia tetap berdiri, laksana pohon di lereng gunung,
kokoh, tenang, memberi naungan pada yang kehilangan arah.

Karena baginya, menyembuhkan bukan sekadar menghapus rasa sakit,
melainkan meniupkan nyawa ke dalam detak jantung yang hampir padam,
mengembalikan cahaya ke mata yang hampir lupa cara memandang.

Dan menjadi perawat?
Itu bukan hanya tugas
ia menjaga dunia dengan tangan yang tak pernah lelah,
dengan hati yang menjadi rumah bagi yang kehilangan rumah.

Ia adalah pelita.
Bukan yang paling terang,
tapi yang paling setia menyala
di saat dunia memilih gelap.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun