Pelita yang Menyembuhkan
Â
Ia menatap dunia dengan mata bening:
bagaikan bulan yang tak pernah memungkir cahaya,
melihat luka yang tersembunyi di balik senyum,
luka yang bahkan bayangan pun enggan menyentuh.
Mimpi kecilnya tumbuh bukan dari tanah subur,
tapi dari tetes air mata orang asing yang jatuh di sudut kamar sunyi,
air mata yang membekas seperti bintang jatuh,
dan dari sanalah ia belajar: cahaya lahir dari duka.
Ia ingin jadi pelita: bukan sekadar nyala,
melainkan obor yang tak pernah padam di badai kesakitan,
yang menari lembut di tepi ranjang penuh rintih,
menyulam harapan dari benang-benang keheningan.
Di ruang sunyi yang berbisik doa dan bau obat,
ia berjanji: bukan hanya tulang dan daging yang ia rawat,
tapi juga jiwa yang retak bagai kaca beku,
yang butuh hangat bukan hanya dari selimut,
tapi dari suara yang berkata, "Kau tak sendiri."
Tak peduli malam panjang menggulung waktu,
atau letih merayap seperti bayangan panjang di dinding,
ia tetap berdiri, laksana pohon di lereng gunung,
kokoh, tenang, memberi naungan pada yang kehilangan arah.
Karena baginya, menyembuhkan bukan sekadar menghapus rasa sakit,
melainkan meniupkan nyawa ke dalam detak jantung yang hampir padam,
mengembalikan cahaya ke mata yang hampir lupa cara memandang.
Dan menjadi perawat?
Itu bukan hanya tugas
ia menjaga dunia dengan tangan yang tak pernah lelah,
dengan hati yang menjadi rumah bagi yang kehilangan rumah.
Ia adalah pelita.
Bukan yang paling terang,
tapi yang paling setia menyala
di saat dunia memilih gelap.