Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[pendidikan] Gadis Berkerudung Biru: Jejak di Atas Kabut

22 Agustus 2025   19:24 Diperbarui: 22 Agustus 2025   19:24 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Gadis Berkerudung Biru: Jejak di Atas Kabut

Di bawah langit yang belum sepenuhnya terang,
ia berdiri dengan kerudung biru membungkus dini,
mimpi-mimpi kecilnya terbang bersama embun pagi,
menari di tepi jendela kelas, menulis harapan di buku tulis yang usang.

Ia bukan putri dari emas atau tahta,
tapi hatinya kaya dengan doa dan cita,
menghitung detak nadi, belajar menyembuhkan luka,
dengan tangan kecil yang percaya: kasih adalah obat paling utama.

Tapi kabut datang.

Masa depan baginya masih kabut di ufuk timur,
menyamar bentuk, mengubur jalan,
angin laut Tanah Lot berbisik lirih:
"Apa kau yakin bisa menembus gelap?"
Ia tak menjawab. Hanya menyalakan pelita dari tekad yang tak pernah padam,
menggenggam erat secarik surat dukungan warga desa,
tanda tangan Ibu Yati di sudut kertas, basah oleh hujan semalam.

Setiap pagi, ia gulung lengan bajunya,
bukan untuk memetik bintang, tapi menuntut ilmu,
menghitung kalori, memahami denyut nadi,
kaki berlari dari pasar ke klinik, dari buku usang ke poster obat murahan.
Suatu malam, ketika listrik padam,
ia menghafal anatomi tubuh di bawah remang lilin,
tangan gemetar menulis: 

"Perawat kemanusiaan adalah yang melihat manusia di balik pasien."

Dan di antara buku-buku yang penuh coretan,
doa-doa yang terkirim dalam hening sebelum subuh,
ia mulai menggenggam masa depan yang samar itu
bukan dengan megah, tapi dengan langkah kecil yang tak pernah menyerah.
Ketika juri bertanya, 
"Apa bedamu dengan sekolah elit?",
ia tak menyebut data. 

Ia angkat foto Nyoman, bocah gizi buruk yang kini tersenyum,
bibirnya bergetar: 
"Inilah yang saya sembuhkan: harga diri."

Suatu hari nanti, di balik seragam putih yang bersih,
ia akan menyapa dunia dengan senyum yang teduh dan tulus,
kerudung birunya tetap setia, saksi bisu perjuangan,
gadis kecil yang dulu bermimpi, kini menjadi cahaya di ujung gelap.
Di tebing Tanah Lot, tanjung tak lagi jadi batas.
Ia tahu: di balik ombak,

ada pulau-pulau yang menunggu sentuhan tangannya,
dan setiap langkahnya adalah janji:
untuk mereka yang masih gelap, menjadi cahaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun