Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Paskibra atau Paskibraka? Sering Salah Kaprah

18 Agustus 2025   21:49 Diperbarui: 18 Agustus 2025   22:01 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, formasi. Saat kamu melihat upacara 17 Agustus di Istana, lihatlah barisan pasukan itu: 17 di depan, 8 di tengah, 45 di belakang. Itu bukan angka acak. Itu adalah 17 Agustus 1945, tertulis dalam gerak dan langkah. Formasi ini adalah ciptaan Husein Mutahar, sebuah puisi tanpa kata, yang hanya dimainkan oleh Paskibraka.

Kedua, proses. Seleksi Paskibraka bukan lomba populer. Ia adalah ujian panjang: dari sekolah, ke kecamatan, ke kabupaten, provinsi, hingga nasional. Mereka yang lolos ke tingkat nasional, dikirim ke Cibubur, dilatih oleh TNI/Polri, hidup dalam disiplin militer selama berbulan-bulan. Fisik diuji, mental diuji, wawasan kebangsaan diuji. Bahkan cara menunduk pun harus sempurna.

Paskibra? Seleksinya lebih sederhana. Biasanya siswa yang tinggi, tegap, dan aktif di sekolah. Latihannya keras, tapi tidak sampai level nasional. Tugasnya rutin, bukan monumental. Tapi jangan salah, latihan pagi-pagi butuh pengorbanan. Bangun lebih awal, kedinginan, kaki pegal. Semua itu dilakukan bukan untuk piala, tapi untuk rasa bangga: "Aku yang mengibarkan bendera hari ini."

Dan inilah perbedaan paling menyentuh: status setelah tugas.

Seorang anggota Paskibraka yang telah mengibarkan bendera di Istana, diberi gelar "Purna Paskibraka Indonesia" (PPI). Ia menjadi bagian dari komunitas nasional, dengan jaringan, tanggung jawab, dan pengakuan resmi. Ia bukan lagi sekadar siswa, ia adalah duta bangsa.

Sementara anggota Paskibra? Setelah tugas selesai, ia kembali ke kelas, menjadi siswa biasa. Tidak ada gelar khusus. Tidak ada organisasi nasional. Tapi ia membawa sesuatu yang tak terlihat: rasa percaya diri, tanggung jawab, dan cinta tanah air yang lebih dalam.

Mengapa penting membedakannya?

Karena menghormati bendera juga berarti menghormati siapa yang mengibarkannya. Menyamakan semua pasukan dengan sebutan "Paskibraka" mungkin terdengar menghargai, tapi justru bisa menjadi bentuk pengaburan. Seolah-olah semua pengorbanan sama, padahal proses, tanggung jawab, dan makna sejarahnya berbeda.

Bayangkan seorang anak dari pedalaman Papua, yang melalui ratusan tahap seleksi, meninggalkan keluarga selama tiga bulan, berlatih tanpa libur, hanya untuk berdiri di Istana selama 10 menit. Ia layak disebut Paskibraka. Bukan "Paskibra".

Dan sebaliknya, siswa yang dengan tulus mengibarkan bendera di sekolahnya setiap Senin, layak disebut Paskibra. Bukan "Paskibraka", bukan karena kurang hebat, tapi karena namanya mencerminkan tempat dan perannya.

Jadi, mulai sekarang, mari kita lebih hati-hati.

Kalau di sekolah, di kantor, di desa: Paskibra.
Kalau di Istana, di ibu kota provinsi, di upacara kemerdekaan resmi: Paskibraka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun