Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Paskibra atau Paskibraka? Sering Salah Kaprah

18 Agustus 2025   21:49 Diperbarui: 18 Agustus 2025   22:01 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Chat GPT, dokpri)

Paskibra atau Paskibraka? Sering Salah Kaprah

Dua singkatan, satu bendera. Tapi hanya satu yang menyentuh pusaka. Salah sebut, bisa jadi penghinaan halus bagi mereka yang berdiri di Istana, dengan keringat dan doa dari ujung negeri.

Pernahkah kamu berdiri di lapangan sekolah, dengarkan lagu kebangsaan berkumandang, sambil memandang bendera merah putih naik perlahan di ujung tiang? Di bawah sinar matahari pagi, sekelompok siswa berdiri tegak, seragam rapi, wajah penuh konsentrasi. Mereka adalah Paskibra. Tapi, apakah kamu tahu, tidak semua pasukan pengibar bendera disebut Paskibraka?

Ya, dua kata itu terdengar hampir sama. Bahkan sering dipakai silih berganti, seolah tak ada beda. Tapi justru di situlah letak kesalahpahaman yang halus, namun dalam. Karena di balik satu huruf tambahan, tersembunyi dua dunia yang berbeda: satu adalah jejak kaki di tanah sekolah, yang lain adalah langkah di halaman Istana.

Mari kita mulai dari suatu pagi di Yogyakarta, tahun 1946. Indonesia masih berjuang, udara kemerdekaan belum sepenuhnya stabil. Di halaman Gedung Agung, lima pemuda-pemudi terpilih diberi kehormatan mengibarkan bendera. Mereka bukan tentara, bukan pejabat, hanya anak muda yang dipercaya membawa simbol bangsa. Dari sanalah benih pertama pasukan pengibar bendera tumbuh. Tapi nama "Paskibraka" belum lahir.

Baru puluhan tahun kemudian, di tengah semangat membangun identitas nasional, seorang pria bernama Mayor (Laut) M. Husein Mutahar melihat peluang besar: bagaimana jika dari seluruh penjuru Nusantara, dipilih satu pasangan muda terbaik dari setiap provinsi, untuk bersatu mengibarkan bendera di hadapan Presiden? Ide ini bukan sekadar upacara, ini adalah pendidikan karakter dalam bentuk simbolik, sebuah ritual nasional yang menyatukan pulau-pulau dalam barisan yang rapi.

Lalu muncullah Paskibraka: Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Kata "Pusaka" di sini bukan hiasan. Ia menyentuh inti. Karena bendera yang mereka kibarkan bukan sembarang bendera: ia adalah duplikat dari bendera asli yang dikibarkan Bung Karno pada 17 Agustus 1945. Sakral. Tak terjamah oleh waktu, tapi tetap hidup dalam bentuknya yang dijaga dengan upacara yang sempurna.

Dan hanya Paskibraka yang diberi amanah itu.

Sementara itu, di ribuan sekolah di seluruh Indonesia, lahir pula gerakan yang terinspirasi: Paskibra: Pasukan Pengibar Bendera. Tidak mengibarkan bendera pusaka, tidak tampil di Istana, tidak melalui seleksi nasional. Tapi perannya tak kalah penting. Mereka adalah garda depan pembentukan karakter anak bangsa. Setiap Senin pagi, mereka berdiri di lapangan, menjadi teladan bagi teman-temannya. Disiplin, percaya diri, dan penuh rasa hormat.

Paskibra bukanlah "versi kecil" dari Paskibraka. Ia adalah saudara seperjuangan yang berjalan di jalan yang berbeda. Jika Paskibraka adalah puncak gunung yang terlihat dari jauh, maka Paskibra adalah akar-akar yang menyebar di bawah tanah: menopang, menyuburkan, memastikan bangsa ini tumbuh dari bawah.

(sumber: suarasmr.news)
(sumber: suarasmr.news)

Apa yang membedakan keduanya secara nyata?

Pertama, formasi. Saat kamu melihat upacara 17 Agustus di Istana, lihatlah barisan pasukan itu: 17 di depan, 8 di tengah, 45 di belakang. Itu bukan angka acak. Itu adalah 17 Agustus 1945, tertulis dalam gerak dan langkah. Formasi ini adalah ciptaan Husein Mutahar, sebuah puisi tanpa kata, yang hanya dimainkan oleh Paskibraka.

Kedua, proses. Seleksi Paskibraka bukan lomba populer. Ia adalah ujian panjang: dari sekolah, ke kecamatan, ke kabupaten, provinsi, hingga nasional. Mereka yang lolos ke tingkat nasional, dikirim ke Cibubur, dilatih oleh TNI/Polri, hidup dalam disiplin militer selama berbulan-bulan. Fisik diuji, mental diuji, wawasan kebangsaan diuji. Bahkan cara menunduk pun harus sempurna.

Paskibra? Seleksinya lebih sederhana. Biasanya siswa yang tinggi, tegap, dan aktif di sekolah. Latihannya keras, tapi tidak sampai level nasional. Tugasnya rutin, bukan monumental. Tapi jangan salah, latihan pagi-pagi butuh pengorbanan. Bangun lebih awal, kedinginan, kaki pegal. Semua itu dilakukan bukan untuk piala, tapi untuk rasa bangga: "Aku yang mengibarkan bendera hari ini."

Dan inilah perbedaan paling menyentuh: status setelah tugas.

Seorang anggota Paskibraka yang telah mengibarkan bendera di Istana, diberi gelar "Purna Paskibraka Indonesia" (PPI). Ia menjadi bagian dari komunitas nasional, dengan jaringan, tanggung jawab, dan pengakuan resmi. Ia bukan lagi sekadar siswa, ia adalah duta bangsa.

Sementara anggota Paskibra? Setelah tugas selesai, ia kembali ke kelas, menjadi siswa biasa. Tidak ada gelar khusus. Tidak ada organisasi nasional. Tapi ia membawa sesuatu yang tak terlihat: rasa percaya diri, tanggung jawab, dan cinta tanah air yang lebih dalam.

Mengapa penting membedakannya?

Karena menghormati bendera juga berarti menghormati siapa yang mengibarkannya. Menyamakan semua pasukan dengan sebutan "Paskibraka" mungkin terdengar menghargai, tapi justru bisa menjadi bentuk pengaburan. Seolah-olah semua pengorbanan sama, padahal proses, tanggung jawab, dan makna sejarahnya berbeda.

Bayangkan seorang anak dari pedalaman Papua, yang melalui ratusan tahap seleksi, meninggalkan keluarga selama tiga bulan, berlatih tanpa libur, hanya untuk berdiri di Istana selama 10 menit. Ia layak disebut Paskibraka. Bukan "Paskibra".

Dan sebaliknya, siswa yang dengan tulus mengibarkan bendera di sekolahnya setiap Senin, layak disebut Paskibra. Bukan "Paskibraka", bukan karena kurang hebat, tapi karena namanya mencerminkan tempat dan perannya.

Jadi, mulai sekarang, mari kita lebih hati-hati.

Kalau di sekolah, di kantor, di desa: Paskibra.
Kalau di Istana, di ibu kota provinsi, di upacara kemerdekaan resmi: Paskibraka.

Karena di balik dua singkatan itu, bukan hanya perbedaan huruf.
Tapi ada sejarah, perjuangan, dan penghargaan yang harus dijaga.

Dan mungkin, di suatu pagi nanti, saat kamu berdiri di lapangan, mendengar "Hormat, bendera!" berkumandang, kamu akan tersenyum, bukan hanya karena bangga, tapi karena tahu:
kamu menyebut nama mereka dengan benar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun