Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

[serinostalgia] Gelombang yang Tak Kembali

11 Agustus 2025   20:43 Diperbarui: 11 Agustus 2025   20:43 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Gelombang yang Tak Kembali

Matahari tengah hari di Toliara menyemburkan api, membakar pasir putih di tepi Selat Mozambik hingga berkilau seperti berlian palsu. Di sini, di kota pelabuhan yang lahir dari debu garam dan mimpi kosong, Vezo, bukan nama aslinya, tapi julukan yang ia pilih saat tiba dari desa nelayan Andavadoaka, berdiri di depan Bar Lagon, tangannya yang berlubang bekas jaring menyentuh poster neon berkedip: "DJ KALA - MALAM INI: SALEGY + RAP ANTALAHAKA!" Udara berbau campuran ikan asin, knalpot taxi-brousse, dan asap toaka gasy yang menguar dari dalam.

Vezo datang ke Toliara dua tahun lalu dengan kaus compang-camping dan janji pada ibunya: "Aku akan kirim uang untuk biaya sekolah adikku." Tapi kini, uang itu habis untuk biaya kos di Kamari, kawasan kumuh di pinggir pelabuhan, dan toaka gasy yang ia minum setiap malam. Di desanya, ia hanya bisa memancing trondro mena (ikan merah) dengan perahu bambu; di Toliara, ia menjadi mpamaky anjat (penjaga pintu) di klub malam, mengusir orang mabuk sambil berpura-pura tak melihat transaksi gelap di sudut gelap.

"Vezo! Ajoa!" (Vezo! Cepat!) Teriakan Dama, pemilik Bar Lagon, memecah lamunannya. "Ada turis Prancis yang cari vato mantatra (batu pembawa sial). Bantu dia!"

Vezo mengangguk. Ia sudah hapal skenarionya: ajak turis ke pantai, tunjukkan batu karang berbentuk tengkorak, lalu jual "jimat" palsu dari batu kapur seharga 50.000 ariary. Uang itu akan habis dalam seminggu untuk kabosy (rokok daun) dan tiket dancing di La Ville, distrik hiburan yang hanya berjarak 200 meter dari kosnya di Kamari, tapi terasa seperti galaksi yang tak bisa dijangkau.

 

Laut yang Menipu

Malam itu, setelah mengantar turis Prancis ke Pantai Ifaty, Vezo duduk di atas karang, menatap ombak yang memecah di Tsimanampesotra, laguna berkarang yang konon menyimpan fanahy (roh) nelayan yang hilang. Di sampingnya, Solo, kakek penjual vadai (kue kacang) yang buta sejak tsunami 1960, berbisik:

 

"Vezo, dengarlah: Ny onja mihinana ny vato, fa ny vato tsy mihinana ny onja."
(Gelombang menggerus batu, tapi batu tak pernah menggerus gelombang.)

Vezo tertawa. "Apa hubungannya dengan aku, Solo?"

Solo menunjuk ke arah La Ville yang berkedip di kejauhan. "Kau pikir kota ini akan kau taklukkan? Ia hanya akan menggerusmu, seperti ombak pada batu. Tapi kau takkan pernah menggerusnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun