Posposy: Jejak Kaki di Tanjakan Analakely
Kota ini lahir dari bukit, ratusan bukit yang saling bertumpuk seperti tulang punggung raksasa. Di jantungnya, Analakely berdenyut: pasar terbesar di Madagascar, di mana asap koba (kue ketan) bercampur bau ikan asin, teriakan penjual lamba, dan dentang palu tukang emas menggema di antara gedung kolonial Prancis yang retak. Tapi yang paling mengiris hati adalah posposy (becak kayu yang ditarik manusia) yang melintas di jalan berbatu, naik-turun seperti kapal di lautan bukit, apalagi selepas hujan .
Aku berdiri di persimpangan Rue de l'Horloge, keringat mengalir di leher, ketika seorang laki-laki mendekat. Badannya kurus, bahu lebarnya tertutup kaus katun pudar, di punggungnya tergantung tambinota (kain peluh) yang sudah hitam oleh keringat. Ia menepuk pelan sisi posposy-nya yang terbuat dari kayu tapia, roda besi berderit, dan jok anyaman rotan yang lecet.
"Andeha?"Â (Mau pergi?) tanyanya, suaranya serak seperti daun kering.
Aku menunjuk ke arah Andohalo, bukit di ujung kota tempat Istana Raja dulu berdiri. "Efa avy any Andohalo aho. Tanjakan mafy izany." (Aku baru dari Andohalo. Tanjakannya curam.)
Ia tersenyum, gigi depannya berlubang. "Mora ihany. Tokony 1.500 ariary." (Tidak masalah. Harganya 1.500 ariary.)
Aku menggeleng. "Tsy milamina. Misy havana ao." (Tidak usah. Aku punya teman di sana.) Tapi yang sebenarnya: aku tak tega melihatnya menarik beban ini ke tanjakan setinggi 300 meter, apalagi dengan tubuhku yang beratnya 60 kg.
Ia tak menyerah. Dari kantong celana compang-camping, ia mengeluarkan selembar foto usang, seorang perempuan dan dua anak kecil berdiri di depan pondok bambu. "Zanakavavy sy zanany ao Ambohidratrimo. Misy vola ilainy." (Istri dan anakku di Ambohidratrimo. Mereka butuh uang.)
Aku terdiam. Di belakangnya, puluhan posposy berbaris seperti tentara lelah. Roda mereka berdebu, tangkainya aus oleh genggaman tangan yang tak pernah berhenti. Ada yang menarik ibu hamil, ada yang mengangkut karung beras 50 kg, ada pula yang hanya membawa seorang kakek buta, tapi semua harus naik ke tanjakan Rue Andrianampoinimerina, di mana setiap langkah menguras napas seperti orang sekarat.
"Mora! Mora!" teriak seorang posposy di depan, memberi isyarat saat mendekati tikungan tajam. Tangannya yang berotot menarik tali kulit dari bahu, badannya membungkuk 45 derajat, kaki telanjangnya menginjak batu tajam tanpa rasa sakit. Di belakangnya, seorang turis asing tertawa sambil memotret, tapi wajah si penarik tak berkedip, matanya fokus pada ujung jalan yang tak pernah habis.
Aku akhirnya naik. Saat posposy bergerak, aku merasakan getaran kayu di punggung, dengusan napas berat Solofo (begitu ia memperkenalkan diri), dan desir kaki telanjangnya yang menggores tanah. Di tanjakan pertama, ia berhenti, mengeluarkan tambinota untuk menyeka keringat yang mengalir ke matanya.