Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

[serinostalgia] FARA dan RENALA

1 Agustus 2025   20:37 Diperbarui: 1 Agustus 2025   20:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, Fara tertidur di bawah Renala, kelelahan. Saat ia terbangun, langit pagi dipenuhi warna jingga yang tak pernah ia lihat sejak kemarau. Di kejauhan, awan hitam menggantung, tanda hujan akan turun. Tapi yang membuatnya menahan napas adalah Renala. Di celah retak batangnya, tunas hijau muda mulai tumbuh, seperti tangan kecil yang meraih langit.

Tahun berikutnya, Morombe tak lagi menghitung beras. Ladang voamalala tumbuh subur di sekeliling Renala, akarnya menyimpan air hujan. Nelayan pulang dengan ikan berlimpah, dan kain Fara (yang kini digantung di balai desa) menjadi pusat pertemuan. Di setiap helainya, orang-orang melihat diri mereka sendiri: tangan yang menanam, jaring yang dijalin, dan akar yang tak pernah putus.

Suatu sore, seorang turis asing datang, membawa kamera kecil. Ia terpesona oleh kain itu dan bertanya, "Siapa yang membuat ini?"

Rakoto tersenyum, menunjuk ke kejauhan. Di bawah Renala yang kini rindang, Fara duduk seperti biasa, jarinya menenun benang baru. "Itu bukan hanya karyanya," katanya. "Itu karya harapan yang kita tenun bersama."

Angin berhembus, membawa daun baobab berbisik. Di Morombe, harapan tak pernah mati, ia hanya menunggu tangan yang mau merajutnya kembali.

Kenangan akan Morombe, Madagascar, Akhir Tahun 1999

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun