Malam itu, Fara tertidur di bawah Renala, kelelahan. Saat ia terbangun, langit pagi dipenuhi warna jingga yang tak pernah ia lihat sejak kemarau. Di kejauhan, awan hitam menggantung, tanda hujan akan turun. Tapi yang membuatnya menahan napas adalah Renala. Di celah retak batangnya, tunas hijau muda mulai tumbuh, seperti tangan kecil yang meraih langit.
Tahun berikutnya, Morombe tak lagi menghitung beras. Ladang voamalala tumbuh subur di sekeliling Renala, akarnya menyimpan air hujan. Nelayan pulang dengan ikan berlimpah, dan kain Fara (yang kini digantung di balai desa) menjadi pusat pertemuan. Di setiap helainya, orang-orang melihat diri mereka sendiri: tangan yang menanam, jaring yang dijalin, dan akar yang tak pernah putus.
Suatu sore, seorang turis asing datang, membawa kamera kecil. Ia terpesona oleh kain itu dan bertanya, "Siapa yang membuat ini?"
Rakoto tersenyum, menunjuk ke kejauhan. Di bawah Renala yang kini rindang, Fara duduk seperti biasa, jarinya menenun benang baru. "Itu bukan hanya karyanya,"Â katanya. "Itu karya harapan yang kita tenun bersama."
Angin berhembus, membawa daun baobab berbisik. Di Morombe, harapan tak pernah mati, ia hanya menunggu tangan yang mau merajutnya kembali.
Kenangan akan Morombe, Madagascar, Akhir Tahun 1999
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI