FARA DAN RENALA
Angin kering dari gurun menggerus pantai Morombe, membawa debu yang menyelubungi langit senja kemerahan. Di tepi desa, di bawah naungan Renala (pohon baobab raksasa yang konon usianya lebih tua dari leluhur pertama) seorang perempuan duduk di atas tikar anyaman daun lontar. Jarinya yang kasar oleh kapas dan nila bergerak lincah, menenun benang berwarna tanah ke dalam kain lamba yang lebarnya sepanjang dua lengan. Namanya Fara, dan setiap helai benang yang ia susun adalah doa yang diam-diam ia titipkan pada angin.
Sejak kemarau berkepanjangan dua tahun lalu, Renala (yang dulu menjadi saksi upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian) mulai mengering. Daunnya yang hijau kini menguning, batangnya retak seperti kulit kakek renta. Para tetua desa berbisik: "Renala mati, roh leluhur pergi. Laut tak lagi memberi ikan, ladang tak berbuah." Nelayan pulang dengan jaring kosong; anak-anak menghitung beras sisa untuk dimasak. Harapan Morombe layu seiring daun baobab.
Fara, yang selama ini hanya dikenal sebagai penenun kain pelengkap upacara adat, diam-diam menggigit bibir. Ia ingat kata-kata neneknya: "Baobab bukan hanya pohon, Nak. Ia tempat roh leluhur menyimpan cerita. Jika kita lupa mendengarnya, akarnya akan mati."Â Tapi bagaimana caranya mengingatkan desa yang sudah kehilangan suara?
Suatu pagi, Fara mengumpulkan semua gulungan benang sisa dari gudang tua di belakang rumahnya. Ia memilih warna-warna yang tak pernah ia pakai sebelumnya: nila gelap seperti air laut, kuning pucat seperti matahari terbenam, dan merah bata seperti tanah Menarandra. Di bawah naungan Renala yang semakin rapuh, ia mulai menenun sesuatu yang lebih besar dari kain biasa, selembar lamba sepanjang enam meter, lebarnya cukup untuk menaungi seluruh desa.
"Kau gila, Fara?" tanya Rakoto, nelayan tua yang suaranya serak oleh asap rokok daun. "Baik kainmu selesai, Renala sudah tumbang. Lalu untuk apa?"
Fara tak menjawab. Ia hanya menunjuk pada pola yang mulai terbentuk: akar baobab yang menjuntai seperti rambut nenek moyang, daun yang menari seperti tangan menabur benih, dan di tengahnya, gambar perempuan kecil yang menenun di bawah pohon. "Ini bukan kain biasa," bisiknya. "Ini suara yang kita lupa dengar."
Perlahan, desa mulai mendekat. Anak-anak membawakan Fara air kelapa; ibu-ibu menyisihkan benang sisa dari kain mereka; bahkan Rakoto, yang dulu meragukan, datang membawa cerita. "Dulu, Renala ini tempat leluhur menyimpan biji voamalala," katanya sambil menunjuk celah di batang pohon. "Katanya, biji itu bisa tumbuh meski tanah kering. Tapi kita sudah lama tak menanamnya."
Fara mengangguk. Esoknya, ia meminta semua orang menggali lubang di sekitar Renala dan menanam biji voamalala yang ia kumpulkan dari tetua desa. Saat tangan mereka bekerja, ia terus menenun, menyisipkan setiap butir keringat dan doa ke dalam benang. Kain itu kini dipenuhi simbol: jaring ikan untuk laut yang kembali berlimpah, butir padi untuk ladang yang subur, dan di setiap sudutnya, akar baobab yang saling terjalin, tanda bahwa tak ada yang sendiri.
Hari ke-40, badai datang. Angin kencang mengoyak atap rumah, ombak menghantam dermaga. Fara berlari ke Renala, takut kainnya hancur. Tapi di sana, ia melihat sesuatu yang mengejutkan: puluhan warga telah berdiri berjejer, memegang tali untuk mengikat kainnya pada dahan pohon. "Kain ini milik kita semua,"Â kata Rakoto, suaranya mengalahkan gemuruh ombak. "Jika Renala tumbang, kita akan menopangnya dengan tangan kita."