Pertama, sistem verifikasi harus diperbaiki. Data UMKM perlu diverifikasi dengan lebih akurat, termasuk melalui pendampingan langsung di lapangan. Bukan sekadar klaim sendiri di formulir daring.
Kedua, kebijakan harus terklasifikasi. Program pembinaan, insentif, hingga pinjaman harus dibedakan berdasarkan kategori mikro, kecil, dan menengah. Ini bukan diskriminasi, tapi afirmasi yang adil.
Ketiga, teknologi harus menjadi jembatan, bukan tembok. Platform digital harus didesain ramah pengguna, terutama untuk pelaku usaha mikro. Pelatihan literasi digital juga harus merata, termasuk di desa-desa.
Dan terakhir, kolaborasi lintas sektor wajib diwujudkan. Pemerintah, perbankan, lembaga pendidikan, dan komunitas UMKM harus duduk bersama, membuat sistem yang inklusif dan responsif.
UMKM: Mozaik Kekayaan Nusantara
UMKM bukan hanya simbol ekonomi, tapi juga identitas bangsa. Ia adalah warung kopi di sudut desa, pengrajin tenun di pedalaman, startup digital di Bandung, hingga produsen suku cadang di Surabaya.
Setiap jenis usaha punya peran, punya potensi, dan punya tantangan unik. Maka, kita tidak boleh lagi memperlakukan mereka dengan pola pikir satu ukuran untuk semua.
Seperti mozaik yang indah karena keberagamannya, UMKM Indonesia juga akan bersinar ketika kita berani melihatnya bukan sebagai satu warna, tapi sebagai kumpulan kepingan yang saling melengkapi.
Dan itu dimulai dengan satu langkah sederhana: menghentikan salah kaprah. Mulai dari siapa? Ya dari kita penulis Kompasiana, siapa tahu para pejabat terkait ikut membaca dan "tersadar" bahwa sebenarnya salah kaprah dimulai dari para pengambil keputusan.
Mari kita akhiri penyamarataan. Mari kita bedakan, bukan untuk memisahkan, tapi untuk mengangkat. Karena UMKM itu tidak satu jenis. Ia adalah milik kita semua, dalam berbagai bentuk dan warna.
***
Kopi kami di lapak Gadepreneur saya mulai dingin, saya tersenyum senang mendapat ilmu gratis tentang UMKM (yang dalam beberapa topik pilihan saya sering sama ratakan, kecil, menengah dan besar).