Toa Lako: Perang Manusia dan Nitu, Pendidikan Jiwa Pria Muda Nagekeo (1)
Di bawah langit Flores yang luas, di tanah Nagekeo yang dipeluk bukit dan sabana di bawah kaki Gunung berapi Ebulobo yang setia mengeluarkan asap untuk menyapa semesta, tradisi Toa Lako bangkit setiap tahun sebagai ritus suci yang mengguncang jiwa.
Bagi masyarakat adat Boawae (adat Nage) dan sekitarnya, Toa Lako bukan sekadar berburu babi hutan atau rusa; ia adalah perang melawan Nitu-roh bumi yang menguasai hutan, hewan liar, dan keseimbangan alam. Tradisi ini, yang mengakar dalam kalender adat buku nete, adalah sekolah alam yang membentuk pria muda menjadi pemberani, solid, dan rendah hati di hadapan leluhur dan alam.
Dengan wawasan dari Pascalis Sopi, yang melalui unggahan Facebook pada 24 Agustus 2024 merinci makna mendalam Toa Lako, dalam esai ini saya berusaha menggambarkan tradisi ini sebagai cermin jiwa Nagekeo yang tangguh dan spiritual.
Ritual Suci: Menghormati Nitu Sebelum Memasuki Hutan
Toa Lako dimulai dengan ritus yang khidmat, sebuah dialog dengan roh leluhur dan Nitu. Para tetua adat memimpin doa, menyembelih ayam jantan atau mempersembahkan sirih pinang, memohon restu agar hutan membuka jalannya. Pascalis Sopi menulis, "Toa Lako adalah ritus yang masuk dalam kalender adat tahunan buku nete, dilakukan setelah Etu (tinju adat) sebagai syukuran pasca-panen" (Sopi, 2024).
Ritual ini bukan sekadar formalitas; ia adalah pengakuan bahwa manusia hanyalah tamu di alam yang dikuasai Nitu. Larangan ketat berlaku: keluarga pemburu harus berpuasa, menyalakan api diatur, dan orang luar dilarang masuk kampung selama perburuan. Pelanggaran bisa berujung pada denda, bahkan kegagalan buruan dianggap akibat gangguan tamu yang melanggar aturan. Dengan jenaka bisa saya ibaratkan, "Di Flores, kita tidak melangkah tanpa izin angin, tidak mengambil tanpa restu batu."
Perang Manusia vs Nitu: Kisah Dendam dan Keseimbangan
Makna Toa Lako berakar pada kisah tragis sebagaimaba yang diceritakan Pascalis. Di Rowa, Boawae, seorang gadis cantik, putri tunggal, tewas diserang kawanan babi hutan dan rusa yang menghancurkan ladangnya. Orang tuanya, yang hanya menemukan helai rambut dan gelang gioknya di pohon kapas, bersumpah membalas dendam.
Bersama suku-suku tetangga, mereka menyerang hewan-hewan liar hingga seekor babi jantan berubah menjadi kakek tua - jelmaan Nitu. Ia berkata, "Cukuplah sudah! Jika ingin menyerang, tanyalah bintang dan bulan, asah tombakmu saat waktunya tiba" (Sopi, 2024).
Ini adalah tua jaji, perjanjian gencatan senjata antara manusia dan Nitu. Toa Lako lahir dari kisah ini, bukan hanya sebagai perburuan, tetapi sebagai ritual untuk mengendalikan populasi hewan liar yang mengancam ladang petani. Sopi menegaskan, "Alasan rasionalnya adalah mengontrol binatang hutan agar tidak menghancurkan tanaman petani tegalan" (Sopi, 2024).
Sekolah Hutan: Membentuk Keberanian dan Solidaritas
Di sabana utara Boawae, pria muda -kecuali yang tua atau lemah- berkumpul dalam kelompok, menuju hutan selama dua hari. Mereka membentuk loka, titik kumpul untuk menyimpan hasil buruan, dengan dua atau tiga orang sebagai penjaga.
Berburu babi hutan dan rusa menuntut keterampilan: membaca jejak, mendengar suara ranting, dan menahan napas saat menghadapi taring babi atau kelincahan rusa. Sopi menggambarkan, "Semua harus berkelompok, dan saat kembali, tak boleh ada yang tercecer di hutan" (Sopi, 2024).
Tradisi ini mengajarkan solidaritas, di mana ego pribadi dikesampingkan demi kemenangan bersama, dan keberanian individu diuji saat menghadapi mangsa sendirian. Saya ingin menggambarkan keterampilan ini, "Keberanian sejati adalah melangkah meski hutan berbisik tentang ketakutan."
Perjalanan pulang dari hutan diiringi pantun dan yel-yel kemenangan, seperti: "Mai lau mai bhia nao se tapi e... e lele... Lele nitu e..." (Dari bawah bagai ijuk selembar, dengar hai Nitu) (Sopi, 2024). Di kampung, kepala buruan digantung di pohon dekat loka, seperti di Wolobidi Wawo, di mana Sopi mencatat dua rusa ditangkap: satu bercabang enam, satu bercabang dua, menandakan "loka bana" (lokanya panas, ramai dengan hasil buruan) (Sopi, 2024). Perjamuan bersama menyusul, mempererat ikatan komunal.
Keseimbangan Spiritual dan Ekologis
Toa Lako adalah dialog dengan Nitu, roh bumi yang menguasai hewan liar, hutan, dan mata air. Antropolog Gregory Forth, seperti dikutip Sopi, menjelaskan bahwa di bawah Gunung Ebulobo, kehidupan masyarakat Nagekeo selalu berkonflik dengan Nitu, entitas non-empiris yang berlawanan dengan manusia: "Kita siang, mereka malam; kita emas, mereka bilang balang" (Sopi, 2024, mengutip Forth, 1998).
Toa Lako bukan sekadar berburu hewan, tetapi perang simbolik melawan Nitu untuk menjaga keseimbangan. Hasil buruan -daging, tulang, kulit-dimanfaatkan tanpa sia-sia, mencerminkan hormat pada alam. Namun, Sopi juga mencatat kekhawatiran: kebakaran hutan dan kepunahan rusa serta babi hutan dapat mengganggu ekosistem. Ia menyerukan regulasi agar tradisi ini lestari tanpa merusak lingkungan (Sopi, 2024).
Tantangan Modern dan Panggilan Pelestarian
Modernisasi mengancam Toa Lako. Hutan menyusut, dan generasi muda tergiur kota. Namun, di kampung seperti Wolobidi Wawo, tradisi ini masih hidup, didukung festival budaya dan pendidikan adat. Sopi menulis, "Toa Lako bukan hanya soal menangkap babi atau rusa, tetapi menangkap makna hidup" (Sopi, 2024).
Bupati Nagekeo kala itu, Yohanes Don Bosco Do, juga menegaskan pentingnya menjaga tradisi agar semangat pengorbanan (pa laka, wela kesa) tetap hidup di kalangan pemuda (Ekorantt.com, 2020). Menurut saya, "Budaya adalah akar yang menunggu tangan untuk merawatnya." Upaya pelestarian ini adalah harapan agar Toa Lako terus mengukir jiwa pria muda Nagekeo.
Penutup: Warisan yang Mengguncang Jiwa
Toa Lako adalah lebih dari ritus berburu; ia adalah perjalanan spiritual, sekolah keberanian, dan cermin keseimbangan antara manusia, alam, dan Nitu. Di setiap pantun kemenangan, di setiap kepala buruan yang digantung, dan di setiap doa sebelum hutan, pria muda Nagekeo belajar menjadi pilar masyarakat: tangguh, solid, dan hormat pada leluhur.
Seperti kata Sopi, "To sa bhoko ta lege toto meze! (Muncul sedikit saja, masih banyak yang belum terurai)" (Sopi, 2024). Toa Lako adalah warisan yang mengguncang jiwa, mengajarkan bahwa hidup adalah perjuangan untuk harmoni, bukan dominasi.
Referensi
Sopi, Pascalis. (2024). Unggahan Facebook bertajuk "To'a Lako - Berburu Adat (Perang Manusia vs Nitu)," 24 Agustus 2024. Diakses dari profil pribadi Pascalis Sopi.
Forth, Gregory. (1998). Beneath the Volcano: Religion, Cosmology and Spirit Classification among the Nage of Eastern Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Ekorantt.com. (2020). "Hadiri Acara Ganti Tiang Rumah Adat, Begini Pesan Bupati Don untuk Generasi Muda Nagekeo."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI