Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toa Lako: Perang Manusia dan Nitu, Pendidikan Jiwa Pria Muda Nagekeo (1)

14 Mei 2025   08:56 Diperbarui: 14 Mei 2025   09:14 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi berburu babi hutan, olahan qwen 2.1 max, dokpri)

Berburu babi hutan dan rusa menuntut keterampilan: membaca jejak, mendengar suara ranting, dan menahan napas saat menghadapi taring babi atau kelincahan rusa. Sopi menggambarkan, "Semua harus berkelompok, dan saat kembali, tak boleh ada yang tercecer di hutan" (Sopi, 2024).

Tradisi ini mengajarkan solidaritas, di mana ego pribadi dikesampingkan demi kemenangan bersama, dan keberanian individu diuji saat menghadapi mangsa sendirian. Saya ingin menggambarkan keterampilan ini, "Keberanian sejati adalah melangkah meski hutan berbisik tentang ketakutan."

Perjalanan pulang dari hutan diiringi pantun dan yel-yel kemenangan, seperti: "Mai lau mai bhia nao se tapi e... e lele... Lele nitu e..." (Dari bawah bagai ijuk selembar, dengar hai Nitu) (Sopi, 2024). Di kampung, kepala buruan digantung di pohon dekat loka, seperti di Wolobidi Wawo, di mana Sopi mencatat dua rusa ditangkap: satu bercabang enam, satu bercabang dua, menandakan "loka bana" (lokanya panas, ramai dengan hasil buruan) (Sopi, 2024). Perjamuan bersama menyusul, mempererat ikatan komunal.

Keseimbangan Spiritual dan Ekologis

Toa Lako adalah dialog dengan Nitu, roh bumi yang menguasai hewan liar, hutan, dan mata air. Antropolog Gregory Forth, seperti dikutip Sopi, menjelaskan bahwa di bawah Gunung Ebulobo, kehidupan masyarakat Nagekeo selalu berkonflik dengan Nitu, entitas non-empiris yang berlawanan dengan manusia: "Kita siang, mereka malam; kita emas, mereka bilang balang" (Sopi, 2024, mengutip Forth, 1998).

Toa Lako bukan sekadar berburu hewan, tetapi perang simbolik melawan Nitu untuk menjaga keseimbangan. Hasil buruan -daging, tulang, kulit-dimanfaatkan tanpa sia-sia, mencerminkan hormat pada alam. Namun, Sopi juga mencatat kekhawatiran: kebakaran hutan dan kepunahan rusa serta babi hutan dapat mengganggu ekosistem. Ia menyerukan regulasi agar tradisi ini lestari tanpa merusak lingkungan (Sopi, 2024).

Tantangan Modern dan Panggilan Pelestarian

Modernisasi mengancam Toa Lako. Hutan menyusut, dan generasi muda tergiur kota. Namun, di kampung seperti Wolobidi Wawo, tradisi ini masih hidup, didukung festival budaya dan pendidikan adat. Sopi menulis, "Toa Lako bukan hanya soal menangkap babi atau rusa, tetapi menangkap makna hidup" (Sopi, 2024).

Bupati Nagekeo kala itu, Yohanes Don Bosco Do, juga menegaskan pentingnya menjaga tradisi agar semangat pengorbanan (pa laka, wela kesa) tetap hidup di kalangan pemuda (Ekorantt.com, 2020). Menurut saya, "Budaya adalah akar yang menunggu tangan untuk merawatnya." Upaya pelestarian ini adalah harapan agar Toa Lako terus mengukir jiwa pria muda Nagekeo.

Penutup: Warisan yang Mengguncang Jiwa

Toa Lako adalah lebih dari ritus berburu; ia adalah perjalanan spiritual, sekolah keberanian, dan cermin keseimbangan antara manusia, alam, dan Nitu. Di setiap pantun kemenangan, di setiap kepala buruan yang digantung, dan di setiap doa sebelum hutan, pria muda Nagekeo belajar menjadi pilar masyarakat: tangguh, solid, dan hormat pada leluhur.

Seperti kata Sopi, "To sa bhoko ta lege toto meze! (Muncul sedikit saja, masih banyak yang belum terurai)" (Sopi, 2024). Toa Lako adalah warisan yang mengguncang jiwa, mengajarkan bahwa hidup adalah perjuangan untuk harmoni, bukan dominasi.

Referensi

Sopi, Pascalis. (2024). Unggahan Facebook bertajuk "To'a Lako - Berburu Adat (Perang Manusia vs Nitu)," 24 Agustus 2024. Diakses dari profil pribadi Pascalis Sopi.
Forth, Gregory. (1998). Beneath the Volcano: Religion, Cosmology and Spirit Classification among the Nage of Eastern Indonesia. Leiden: KITLV Press.
Ekorantt.com. (2020). "Hadiri Acara Ganti Tiang Rumah Adat, Begini Pesan Bupati Don untuk Generasi Muda Nagekeo."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun