Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mudik Ke Dalam Diri

27 Maret 2025   08:28 Diperbarui: 27 Maret 2025   08:28 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudik ke Dalam Diri

Saat musim mudik tiba, jalan-jalan raya dipenuhi kendaraan yang bergerak lambat, membawa harapan dan kerinduan untuk pulang ke kampung halaman. Namun, di antara hiruk-pikuk perjalanan fisik itu, ada sebuah perjalanan lain yang lebih mendalam, mudik ke dalam diri. Perjalanan ini tidak membutuhkan tiket atau bensin, tetapi memerlukan keberanian dan ketulusan hati untuk menghadapi cermin jiwa sendiri.

***

Angga duduk di kursi mobilnya yang terjebak macet di tol Cipali. Matahari mulai condong ke barat, menyisakan bayangan panjang di sisi kanan jalan. Sebagai seorang profesional muda yang tinggal di Jakarta, Angga sudah terbiasa dengan kemacetan. Tapi kali ini beda. Ini adalah perjalanan mudik lebaran pertamanya setelah lima tahun absen karena kesibukan pekerjaan.

Di tengah kemacetan yang tak kunjung usai, Angga membuka aplikasi peta di ponselnya. Aplikasi tersebut menunjukkan estimasi waktu tempuh hingga 12 jam dari Jakarta menuju kampung halamannya di Jawa Tengah. Dia menghela napas panjang, lalu menutup matanya sesaat. Rasa letih mulai merayap, namun pikirannya justru semakin aktif. Ia ingat betapa rumitnya hubungan keluarganya akhir-akhir ini. Ada banyak hal yang belum terselesaikan, konflik lama dengan ayahnya, janji-janji kepada ibunya yang tak pernah ia tepati, serta rasa bersalah karena jarang berkunjung.

"Apakah aku pantas merayakan Idul Fitri seperti biasa?" gumam Angga pelan. Pertanyaan itu muncul begitu saja, mengusik kedamaian hatinya yang selama ini dia coba abaikan.

Ketika matahari benar-benar tenggelam, langit berganti menjadi gelap gulita. Di samping suara klakson kendaraan yang saling bersahutan, Angga memutuskan untuk mematikan mesin mobilnya dan beristirahat sejenak. Dia turun dari mobil, meregangkan tubuhnya, dan duduk di atas kap mobil sambil memandang langit malam yang bertabur bintang.

Dalam keheningan itu, sebuah kenangan lamanya kembali muncul. Saat masih kecil, setiap tahun Angga selalu ikut orangtuanya mudik ke desa. Perjalanan itu bukan hanya tentang sampai di tujuan, melainkan juga proses membersihkan hati sebelum bertemu sanak saudara. Ayahnya sering berkata, "Mudik itu bukan cuma soal pergi ke mana kita dilahirkan, tapi juga bagaimana kita kembali ke fitrah."

Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Angga. Ia sadar bahwa selama ini ia hanya fokus pada perjalanan fisik tanpa memperhatikan apa yang seharusnya ia persiapkan secara batiniah. Pikirannya mulai mencari-cari alasan untuk menghindari introspeksi diri. Namun, di tengah malam yang sunyi itu, tidak ada distraksi lagi. Hanya ada dirinya, bintang-bintang, dan suara hati yang semakin keras.

Angga mencoba merenung. Apa artinya kemenangan jika ia masih menyimpan dendam? Bagaimana bisa ia merayakan hari raya dengan sukacita jika hatinya dipenuhi amarah dan penyesalan? Seperti kata pepatah, "Membersihkan debu-debu dosa jauh lebih sulit daripada membersihkan debu-debu di sepanjang jalan."

Perlahan-lahan, Angga mulai membuka pintu hatinya. Ia mengenang momen-momen buruk yang telah ia lalui: ketika ia marah besar pada ayahnya karena perbedaan pandangan; ketika ia membatalkan rencana pulang demi proyek kantor; ketika ia lebih memilih karier daripada keluarga. Semua itu membuatnya merasa kosong. Namun, di balik semua kesalahan itu, ia juga menemukan celah-celah harapan, bahwa ia masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun