Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Bulan, Dua Jalan Maaf

12 Maret 2025   22:15 Diperbarui: 12 Maret 2025   22:15 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Satu Bulan, Dua Jalan Maaf

Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Di sebuah kota kecil yang sunyi, Fajar duduk sendirian di bangku kayu taman, memeluk dirinya dalam dinginnya udara bulan puasa. Hatinya penuh luka, dihantam pengkhianatan sahabatnya, Rama, yang diam-diam mengambil keuntungan dari bisnis mereka dan pergi tanpa sepatah kata pun. Dendam dan amarahnya telah menjadi beban yang terlalu berat untuk dipikul.

Di sisi lain kota, di sebuah desa kecil yang sepi, Laila duduk di beranda rumahnya, menatap langit malam yang bertabur bintang. Kenangan akan pengkhianatan suaminya, Arman, masih membekas dalam hati. Setahun yang lalu, Arman meninggalkannya dan anak mereka, Rara, demi cinta lain. Meski ia mencoba tegar, bekas luka itu masih terasa seperti pisau yang menyayat hatinya setiap kali ia ingat.

Malam itu, langkah kaki mendekat menghentikan lamunan mereka. Bagi Fajar, sosok Rama muncul di hadapannya, wajahnya penuh keraguan dan penyesalan. Sedangkan bagi Laila, Arman berdiri di pintu gerbang, matanya berkaca-kaca oleh rasa bersalah.

"Fajar..." Rama berbicara dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. "Boleh aku duduk?"

"Laila, aku mohon maaf," ucap Arman dengan suara serak. "Aku tahu aku telah menyakitimu, tapi aku ingin memperbaiki semuanya."

Kedua pertemuan ini dipenuhi ketegangan. Fajar dan Laila sama-sama merasakan campuran emosi: kemarahan, kebencian, rasa sakit, dan sedikit harapan. Mereka tidak tahu apakah bisa mempercayai orang-orang yang pernah menghancurkan hidup mereka.

Fajar menatap Rama dengan dingin. "Apa yang kau mau?" tanyanya tajam.

"Aku... Aku tahu aku telah menyakitimu," kata Rama, suaranya bergetar. "Aku bukan hanya mengkhianatimu, aku juga mengkhianati diriku sendiri. Selama ini aku hidup dalam rasa bersalah, dan aku tahu tak ada alasan yang bisa membenarkan apa yang telah aku lakukan."

Laila, di sisi lain, menatap Arman dengan tatapan penuh amarah. "Kenapa sekarang? Kenapa setelah setahun kau baru muncul dan meminta maaf?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun