Mohon tunggu...
Alfiansyah_senja
Alfiansyah_senja Mohon Tunggu... Buruh - Penulis artikel, foto, dan traveling

Lahir dan besar di kota Balikpapan. "Setiap Malam adalah Sepi" adalah novel perdana yang berhasil dicetak lewat proyek indiependent. Novel ini bercerita tentang kehidupan urban seorang pekerja yang bekerja di malam hari di Kota Balikpapan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Soliter

8 April 2020   13:06 Diperbarui: 8 April 2020   14:17 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudahlah, itu hanya pidato  mahasiswa yang tidak ada tanggungan hidup  sama sekali.

"Hoaaaaaaaaam."

Akhirnya aku menguap-nguap. Belum sampai rumah mulai sudah ngantuk. 17 tahun aku jadi karyawan, dan ketakutan-ketakutan itu selalu membuntutiku di mana pun berada. Sial, benar-benar kurang ajar!

Di sebelah kiri, ada seorang pemuda yang memikul semangat lulusan SMA dan mungkin baru diterima bekerja. Semua terpancar dari matanya. Mata penuh jiwa optimistis, mimpi besar, dan segala macam perjuangan yang mesti diperjuangkan dan dikorbankan---yang paling banyak dikorbankan adalah waktu. Ingin disenangi bos, karier lancar, menjadi terhormat dan melamar pacar yang sudah 3 tahun sudah (mohon maaf) dikawani berulang kali, tapi belum dinikahi karena tuntutan adat dan budaya yang muaranya ke uang.

Harga diri seseorang tolak ukurnya adalah uang. Uang adalah sebuah ideologi yang mampu mengatur tatanan sosial dan merusak demokrasi bangsa. Tanpa uang, sebuah birokrasi dan roda perputaran tidaklah berjalan lancar. Uang sebagai penyambung hidup, dan harga diri seseorang akan runtuh ketika disodorkan dengan uang. Jangankan harga diri, kadang pun manusia karena terlalu serakah, sudah tidak ingat lagi dengan Sang Pencipta, dan Sang Pencipta itu hadir dalam bentuk paket uang tunai.

Ada yang berdiri, tangan kanannya memegang gantungan bus. Bapak-bapak, umurnya mungkin 43 ke atas. Bisa jadi seumuranku. Wajahnya murung. Dari bajunya aku tahu, dia bekerja di perusahaan tempat temanku bekerja. Temanku itu pun juga mengeluh soal perusahaannya, yang menggaji karyawan tidak masuk akal. Aku coba menerka-nerka apa yang ada dipikirannya. Mungkin dalam hati dia berkata,
"apakah gaji pensiun mampu melunasi cicilan yang semakin menggunung!"

Ada juga pemuda, dari bajunya mungkin seorang sales. Memakai kemeja lengan panjang, celana kain hitam, sepatu kets, menjinjing tas, dan badannya agak tegak. Walau bekerja seharian, rambutnya tetap rapi dan klimis. Mulai tadi memijit-mijit layar hape. Mungkin dia sedang membalas pesan singka dari selingkuhan di kantor. Bukannya beberapa karyawan suka main api dengan rekan sesama kantor?

Sebenarnya aku malas memikirkan apa yang ada dipikirkan penumpang setiap. Selain kurang kerjaan, terus terang, menjadi beban tersendiri memikirkan nasibnya orang.

Tapi mau bagaimana lagi, memang benar, jiwa sosial dan nilai-nilai Pancasila telah mati. Tepatnya, hanya sebatas kurikulum hafalan, sebagai persyaratan pendidikan di negeri ini. Orang saat ini senang cuci tangan. Lebih baik kehilangan orangtua dibanding mobil yang masih dicicil. Lebih baik menabrak orang dibanding mobilnya menabrak tiang listrik. Seaman mungkin, hindari aktif di kegiatan sosial. 

Saatnya untuk menumpuk harta sebesar-besarnya. Berpakaian bagus dan makan enak adalah impian insan manusia dalam membangun bahtera rumah tangga. Intinya tak ingin kere. Urusanmu adalah urusanmu, jangan disangkut pautkan dengan urusanku. Masa bodoh dengan tetangga yang di rumahnya sudah tiga hari tak ada beras. Dan bukannya kere-kere dipelihara negara? Tiap bulan dapat bantuan, selain membuat orang tidak berusaha, dananya juga banyak disunat oleh pejabat negara.

Satu lagi, orang sekarang suka cuci tangan. Suka melempar kesalahannya sana-sini. Jika ia berbuat salah, maka ia akan siap untuk mencari senjata dan tameng yang tepat agar kesalahan-kesalahan itu bisa dilimpahkan ke orang lain. Cari tumbal. Jika di instansinya itu ia berprestasi, maka, ia akan sesegera mungkin membanggakan diri. Berbicara banyak, menggagung-agungkan bos, dibuat merendah tapi kesannya berbual-bual. Ah, sandiwara. Lebih baik busungkan dada agar terlihat semakin gagah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun