Ekonomi Indonesia hari ini Selasa, 9 September 2025 seperti film thriller politik-ekonomi yang tayang di jam prime time. Statistiknya tampak indah dengan pertumbuhan PDB 5,12%, inflasi jinak 2,31%, dan neraca perdagangan surplus 62 bulan berturut-turut. Tapi cobalah tengok di balik layar: pasar modal bergetar, rupiah loyo, yield Surat Berharga Negara (SBN) naik, dan ketimpangan/kesenjangan sosial kian lebar. Pemerintah melempar brosur optimisme, tapi pasar dan rakyat justru bertanya: "Siapa yang bayar semua ini?"
Janji Pertumbuhan 7%-8%: Antara Ambisi dan Realita
Pemerintah kembali meluncurkan narasi megah dengan pertumbuhan 7%-8% di 2026. Sekilas terdengar heroik, seperti tagline iklan properti. Masalahnya, pasar membaca ini seperti "pre-order tanpa stok" dengan brosur lengkap, tapi roadmap-nya tak jelas.
Program makan gratis, subsidi energi, dan pembangunan infrastruktur jumbo diumumkan bak "bonus paket lengkap". Publik bertepuk tangan, sementara investor sibuk menghitung risiko. Pasar sadar, pertanyaan utamanya bukan "apa yang mau dibangun?", tapi "dananya dari mana?"
SWF, Danantara, dan Skema "Uang Pintar"
Di sinilah peran INA (Indonesia Investment Authority) alias Sovereign Wealth Fund (SWF) masuk panggung. INA adalah dompet investasi negara yang tugasnya menghimpun modal global untuk membiayai proyek strategis tanpa langsung membebani APBN.
Masalahnya, INA jarang bergerak sendirian. Ia punya "perpanjangan tangan" bernama Danantara, anak usaha yang bertindak sebagai kendaraan investasi khusus.
Skemanya seperti ini: (1) INA membuka pintu bagi investor asing dan domestik untuk menaruh modal; (2) Modal itu dialirkan ke Danantara sebagai operator teknis; (3) Danantara kemudian mengelola investasi pada BUMN infrastruktur atau proyek strategis; (4) Proyek jalan tol, bandara, energi, giant wall dan digitalisasi dibiayai tanpa tercatat langsung dalam defisit APBN.
Secara resmi, angka defisit terlihat cantik dengan 2,48% PDB. Secara faktual, pasar melihat ada "kewajiban tersembunyi" lewat INA Danantara BUMN Proyek Strategis. Inilah yang disebut shadow deficit yaitu utang implisit yang tak muncul di headline, tapi suatu saat harus dibayar.
Pasar modal dan investor global paham trik ini. Bukannya sinis, mereka hanya realistis. Kalau beban fiskal "digeser ke jendela belakang", risiko tetap sama. Maka tak heran yield SBN 10 tahun merangkak naik ke 6,43%. Pasar meminta harga lebih mahal untuk "membeli janji optimisme" yang ditawarkan pemerintah.
Pasar Modal: Big Caps Jadi Korban Ekspektasi