Bayangkan sebuah perusahaan yang memproduksi mobil listrik. Ia bangga menyebut dirinya "ramah lingkungan", tapi tak mampu menghitung berapa biaya limbah baterai yang dikuburnya setiap tahun.Â
Di sisi lain, sebuah startup digital membakar triliunan rupiah untuk mengakuisisi pengguna, tapi tak bisa menjawab: "Berapa sebenarnya biaya satu pelanggan baru yang aktif selama 6 bulan?"
Di sanalah akuntansi biaya yang selama ini tenang di balik layar, mengurus debit-kredit biaya bahan baku dan overhead pabrik dipanggil kembali ke medan perang yang baru. Bukan sekadar menghitung. Tapi memetakan, menafsirkan, memprediksi. Lebih berat lagi yaitu bertanggung jawab pada masa depan.
Â
Ketika Lingkungan Menagih Ongkosnya
Di era krisis iklim ini, biaya bukan cuma soal listrik, air, dan tenaga kerja. Tapi juga soal udara kotor yang dikeluarkan, limbah plastik yang dibuang, dan reputasi yang terkikis. Dunia mulai bertanya, "Berapa biaya jejak karbonmu?" Sayangnya, banyak sistem akuntansi biaya hari ini masih bisu ketika diminta menjawab.
Inilah yang memunculkan kebutuhan akan Green Costing atau Environmental Cost Accounting, sebuah pendekatan baru yang mengintegrasikan biaya sosial dan lingkungan ke dalam laporan manajerial. Perusahaan yang dulu hanya menghitung biaya produksi, kini dituntut juga menghitung "biaya merusak".
Â
Era Biaya Real-Time: Dari Spreadsheet ke Streaming Data
Dulu, laporan biaya datang di akhir bulan. Hari ini, manajemen ingin laporan biaya real-time seperti notifikasi Gojek yang cepat, akurat, dan berbasis data sensor.