Media sosial telah menciptakan bentuk identitas baru yang bersifat hybrid sebuah gabungan antara diri ideal yang ditampilkan ke publik (melalui akun utama) dan diri tersembunyi yang muncul di ruang-ruang tersembunyi seperti akun kedua, akun anonim, atau grup tertutup. Identitas Hybrid yang dipopulerkan oleh salah satu tokoh sosiologi Homi K. Bhabha menjelaskan, identitas ini merupakan bentuk subversi ruang di mana individu merundingkan kembali posisi mereka dalam struktur kekuasaan dominan. Identitas hybrid ini menunjukkan bahwa kita tidak hanya satu versi diri, tapi banyak, dan masing-masing diaktifkan tergantung pada konteks sosial dan struktur pengawasan yang menyertainya. Sebagai contoh, akun kedua atau second account bisa menjadi ruang ekspresi otentik tempat di mana seseorang bisa bersikap lebih jujur, membagikan keresahan, atau mengungkap sisi yang tidak berani ditampilkan di akun utama. Namun pada saat yang sama, akun-akun ini juga sering kali menjadi ruang destruktif, karena didukung oleh fitur anonimitas yang melepas tanggung jawab sosial. Ketika seseorang tahu bahwa identitasnya tidak akan diketahui, batas-batas etika sering dilanggar dari menyebar kebencian, menyerang tokoh publik, hingga merundung sesama pengguna. Netizen bisa bersikap moral dan represif di satu tempat (akun utama), lalu menjadi ofensif dan brutal di tempat lain (akun kedua), tanpa merasa bersalah atau bertanggung jawab secara sosial.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan betapa cairnya identitas digital kita, tetapi juga rapuhnya batas moral dalam masyarakat jaringan. Ketika teknologi menyediakan ruang tanpa wajah, maka kata-kata bisa melukai lebih dalam, tanpa pelaku merasa menjadi bagian dari relasi sosial yang nyata. Anonimitas memperkuat proses desubjektivisasi, di mana pengguna tidak lagi melihat dirinya sebagai bagian dari struktur etika sosial melainkan sebagai entitas bebas yang bisa mengamuk tanpa sanksi. Dengan demikian, identitas di media sosial tidak hanya soal pencitraan, tapi juga soal pengelolaan kekuasaan, etika, dan moralitas di ruang yang penuh celah. Second account bukan hanya persoalan privasi, tetapi refleksi dari bagaimana kita membagi-bagi wajah kita di hadapan publik antara performa ideal dan hasrat-hasrat tersembunyi yang tak tersalurkan dalam norma sosial sehari-hari.
Kekerasan Simbolik "Hate Speech" dari Budaya Toxic
Dalam kerangka pemikiran Pierre Bourdieu, saya dapat korelasikan bahwa media sosial telah menjadi arena bagi munculnya kekerasan simbolik bentuk kekuasaan yang tidak kasat mata, namun efektif dalam menundukkan dan melukai lewat simbol, bahasa, dan representasi sosial. Kekerasan ini tidak dilakukan dengan tangan atau senjata, melainkan dengan tindakan hate speech seperti kata-kata, meme, retweet, dan komentar yang menyakitkan. Saat seseorang menggunakan akun anonim untuk melakukan hate speech, membully, menyebarkan hoaks, atau menghakimi orang lain secara publik, yang terjadi bukan sekadar hinaan pribadi, tetapi sebuah tindakan dominasi sosial yang mengakar dalam ketimpangan kuasa, moral, dan akses terhadap narasi. Kekerasan simbolik di media sosial sering tidak dikenali sebagai kekerasan, karena disamarkan sebagai opini pribadi, ekspresi bebas, atau bahkan bentuk aktivisme. Namun pada kenyataannya, tindakan-tindakan ini menghancurkan modal simbolik seseorang: reputasi, harga diri, kehormatan, atau eksistensi sosialnya. Kasus-kasus viral seperti serangan terhadap selebritas, pengungkapan privasi orang biasa, hingga penghakiman moral massal di TikTok atau Twitter/X menunjukkan bagaimana kekerasan simbolik bisa menyebar dengan cepat, sistematis, dan massif tanpa wajah pelaku yang jelas.
Maka dari itu, latform digital dengan algoritmanya secara struktural mendorong budaya toxic. Sistem di media sosial seperti notifikasi, engagement, dan trending topic memberi insentif terhadap konten yang mengundang konflik, emosi negatif, atau perdebatan panas. Akibatnya ada fenomena yang dimunculkan di dunia media sosial seperti "cancel culture", "expose", dan "saling hina" dipelihara oleh logika viralitas. Tidak adanya pembatas sosial konkret seperti ekspresi wajah, norma percakapan langsung, atau risiko fisik membuat agresi sosial di media sosial menjadi laten ia terus ada di bawah permukaan, bisa muncul kapan saja, dan diterima sebagai bagian dari "normalitas digital". Identitas digital bisa digunakan secara kolektif sehingga netizen memiliki kecenderungan untuk bertindak sebagai hakim, jaksa, dan eksekutor tanpa mekanisme klarifikasi atau keadilan. Kekerasan simbolik ini sulit dilawan karena tidak terlihat sebagai kekerasan, dan karena struktur platform itu sendiri justru menyuburkan praktik-praktik tersebut dalam nama engagement dan kebebasan berekspresi. Akibat buruknya, dari pemikiran Bourdieu, yang tampak sebagai ruang demokratis dan egaliter sebenarnya adalah arena dominasi yang halus tapi mematikan di mana identitas bisa dihancurkan dengan quote tweet, suara bisa dibungkam dengan hinaan massal, dan eksistensi bisa dilucuti oleh algoritma yang tak berpihak.
Siapa Kita Tanpa Likes?
Sebagai penutup, jika identitas kita di media sosial terasa lebih nyata, lebih utuh, dan lebih dihargai daripada yang kita tampilkan di dunia nyata, maka pertanyaannya bukan lagi sekadar siapa kita di dunia digital, tapi apakah kita masih punya diri di luar panggung itu? Ketika validasi datang dalam bentuk angka dan perhatian, kita pun mulai mengukur eksistensi dengan like, retweet, dan views. Maka identitas bukan lagi proses alami dari pertumbuhan dan refleksi, melainkan hasil kurasi, strategi, dan algoritma.
Mungkin kita tidak sedang mencari jati diri di media sosial. Mungkin kita sedang membangun panggung yang paling aman dan menarik di mana kita tidak harus jujur, cukup menarik. Di mana kita tidak harus utuh, cukup viral. Identitas digital menjadi simulakra, sebuah refleksi yang tidak pernah benar-benar menunjukkan siapa kita, melainkan siapa yang ingin kita pertontonkan. Dan jika kita terus hidup dalam sorotan itu, mungkin yang kita takutkan bukan kehilangan followers, tapi kehilangan rasa menjadi seseorang ketika panggung dimatikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI