Banyak orang merasa lebih nyaman dan bebas mengekspresikan diri melalui akun-akun media sosial anonim atau 'second account', karena merasa terlindungi dari penilaian sosial. Mereka dapat mengungkapkan opini, perasaan, atau bahkan melakukan tindakan yang mungkin tidak berani dilakukan di dunia nyata. Saya pun punya akun medsos lain dan sering merasa lebih nyaman dan bebas mengekspresikan diri melalui akun-akun anonim atau 'second account', karena merasa terlindungi dari penilaian sosial.
Pada akhir 2024, dunia medsos di Indonesia dihebohkan oleh akun lawas Kaskus bernama fufufafa. Akun ini menjadi sorotan setelah ditemukan unggahan-unggahan lama yang berisi hinaan dan ujaran kebencian terhadap tokoh politik, termasuk Prabowo Subianto dan keluarganya. Kontroversi semakin memanas ketika sejumlah warganet mengaitkan akun tersebut dengan Wakil Presiden terpilih saat itu, Gibran Rakabuming Raka. Meskipun Gibran telah membantah keterkaitannya, dan pihak Istana serta Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa akun tersebut bukan milik Gibran, namun berbagai bukti digital yang diungkap oleh warganet, seperti kesamaan nomor telepon dan email dengan data pribadi Gibran, membuat spekulasi terus berkembang.
Saya ingin mencoba menggambarkan secara sosiologis terkait fenomena ini. Secara tidak langsung, adanya second account mencerminkan bagaimana media sosial memungkinkan individu untuk memiliki identitas ganda satu yang ditampilkan secara publik, dan satu lagi yang tersembunyi di balik anonimitas. Menariknya, dalam banyak kasus, individu merasa bahwa identitas yang mereka tampilkan di media sosial lebih mencerminkan diri mereka yang sebenarnya dibandingkan dengan identitas di dunia nyata. Hal ini diperkuat oleh adanya fitur-fitur seperti 'likes', komentar, dan jumlah pengikut yang memberikan validasi sosial secara instan. Â Semakin banyak interaksi positif yang diterima, semakin kuat pula perasaan bahwa identitas digital tersebut adalah representasi diri yang autentik. Anonimitas dapat mendorong perilaku tidak bertanggung jawab, seperti penyebaran ujaran kebencian, fitnah, dan tindakan merugikan lainnya. Â Kasus fufufafa menjadi contoh bagaimana akun anonim dapat digunakan untuk menyebarkan konten negatif tanpa takut akan konsekuensi hukum atau sosial. Â Media sosial, dengan fitur-fitur yang mendukung anonimitas, secara tidak langsung memfasilitasi perilaku semacam ini.Â
Dramaturgi Netizen di Panggung Sosial (Media Sosial)
Di era sekarang, sadarkah kalau kita ini merasa lebih "jadi diri sendiri" di media sosial, pendekatan dramaturgi dari Erving Goffman tentu menjadi kajian populer jika membahas identitas dan media sosial. Kita semua pasti tidak asing lagi dengan istilah "Dunia adalah Panggung Sandiwara", istilah tersebut berkaitan erat dengan dramaturgi Goffman. Dijelaskan bahwa, struktur (dunia masyarakat) adalah panggung, dan tiap individu memainkan perannya sesuai dengan ekspektasi sosial. Dalam interaksi sehari-hari di sekolah, kantor, atau ruang publik kita berada di front stage, yaitu ruang tempat kita harus menjaga sikap, bicara sopan, berpakaian sesuai norma, dan menahan diri. Ini adalah tempat di mana tekanan sosial sangat kuat dan kesalahan bisa berujung pada sanksi sosial. Sebaliknya, media sosial terutama akun pribadi atau bahkan second account lebih menyerupai back stage, ruang di mana individu merasa lebih bebas mengekspresikan emosi, kekesalan, opini kontroversial, bahkan kekonyolan yang tak akan pernah mereka tunjukkan di ruang publik. Di sinilah banyak orang merasa "lebih jujur" dan "lebih autentik." Akun media sosial menjadi tempat untuk merekonstruksi identitas tanpa beban konformitas sosial yang ketat. Maka tak heran, banyak yang justru menganggap identitas digital ini yang penuh ekspresi, lebih terkontrol, dan mendapat validasi dari likes dan komentar sebagai versi diri yang lebih sejati dibanding versi dunia nyata.
Namun, peran back stage ini juga menghadirkan problem sosial. Tentu munculnya second account, pasti sering menjumpai komentar "akun bodong", "akun buzzer", "akun tanpa profil", yang sering muncul di postingan media sosial lain untuk menyebar ujaran kebencian, menyerang tokoh publik, atau mencurahkan isi hati tanpa tanggung jawab. Fitur anonimitas yang ditawarkan media sosial memperkuat ilusi bahwa segala ekspresi bebas nilai dan bebas konsekuensi. Seperti akun "fufufafa" yang sempat dikaitkan dengan tokoh politik, hal tersebut menunjukkan bagaimana identitas digital bisa digunakan untuk memainkan dua peran secara paralel yang satu resmi, yang satu destruktif. Dalam konteks ini, ada istilah audience segregation, konsep Goffman tentang memisahkan penonton agar tiap versi diri bisa dimainkan dengan aman justru difasilitasi oleh platform digital. Di media sosial, kita bisa memilih kepada siapa ekspresi kita ditujukan, mengatur siapa yang melihat postingan kita, atau bahkan membuat akun terpisah untuk kelompok teman yang berbeda. Ini membuat media sosial menjadi panggung identitas yang multitafsir, sekaligus medan konflik antara kebebasan ekspresi dan etika sosial.
Validasi Digital dan Kenyamanan Identitas Ganda
Secara sosiologis, identitas bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan terbentuk melalui proses sosial yang dinamis melalui interaksi, simbol, dan narasi yang dibangun dalam relasi kita dengan orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, identitas kita sering dibentuk oleh ekspektasi sosial yang kaku. Namun, di media sosial, kita memiliki kendali naratif yang jauh lebih besar: kita bisa memilih foto mana yang ditampilkan, cerita mana yang dibagikan, sisi mana dari diri yang diperlihatkan atau disembunyikan. Di sinilah muncul konsep "diri yang diproduksi" identitas digital yang dikontruksi secara aktif untuk menciptakan citra yang lebih ideal, menarik, atau autentik sesuai keinginan.
Tokoh sosiologi modern terkenal Anthony Giddens menjelaskan bahwa dalam dunia modern yang refleksif, individu terus-menerus "mengarang" dirinya sendiri berdasarkan pengalaman dan respons lingkungan. Media sosial menyediakan ruang yang sangat subur untuk proses ini setiap postingan adalah fragmen narasi diri. Lebih jelas lagi, pemikiran Giddens juga memaknai bahwa identitas bukan sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang dilakukan dan media sosial adalah panggung utama untuk melakukan "identitas" tersebut setiap hari. Likes, komentar, dan followers bertindak sebagai bentuk validasi instan terhadap citra diri yang dibangun. Mereka memberi semacam umpan balik afektif yang memperkuat rasa percaya diri dan rasa diterima. Ini mengaktifkan mekanisme psikososial yang sangat mendasar, kebutuhan akan pengakuan. Maka tidak mengherankan jika banyak orang merasa bahwa identitas digital mereka yang mendapatkan apresiasi, dipuji, dan terasa "berhasil" lebih merepresentasikan diri sejati mereka daripada versi offline-nya yang dibatasi norma dan tuntutan sosial. Akhirnya, media sosial tidak hanya menjadi cermin, tetapi juga kanvas identitas. Ia memungkinkan kita menampilkan bukan siapa kita sebenarnya, tapi siapa yang kita inginkan untuk jadi. Dan karena dunia digital memberi ruang untuk mengedit, mengulang, dan menyusun ulang citra, ia terasa lebih nyaman dan memuaskan terutama dalam masyarakat modern yang terus bergerak, menekan, dan menuntut kita tampil sempurna di segala waktu.
Dominasi Identitas Hybrid dan Kebebasan Berekspresi di Dunia Maya