Masyarakat Lampung sangat menanti-nanti sosok dan golongan yang benar-benar peduli terhadap keberlangsungan hidup. Seperti kemudahan mendapat jaminan kesehatan, sumber pangan dan tempat tinggal. Tapi, untuk kesehatan saja masyarakat mesti membayar iuran. Untuk bertempat tinggal secara layak seperti tidur di rumah sendiri hampir tidak mungkin karena harga yang tidak sesuai dengan upah sebagian karyawan.
Praktek di lapangan, perusahaan-perusahaan luar negeri selalu berdatangan membuka perindustrian, perkebunan, pertanian hingga pertambangan secara besar-besaran. Tentu saja, pemerintah mendapat keuntungan.
Sumber keuangan pemerintah pun berasal dari masyarakat dan kekayaan alam yang ada. Pemerintah menerima pajak tidak dari masyarakat saja. Tapi, dari perusahaan-perusahaan asing. Selain itu, pemerintah memiliki pendapatan dari usaha negara yang kendalinya dipegang BUMN.
Tentu saja penghasilan itu tidak sedikit. Sebab, orang yang menjual bensin eceran pun mendapat keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Apalagi, dari penjualan minyak, gas, hasil kebun, hasil pertanian hingga pertambangan negara. Tapi, kenapa negara masih mengeluh dalam menyejahterakan masyarakat? Bahkan bersikeras mendatangkan investor asing. Kapan masyarakat menikmati keuntungan dari hasil sumber daya alam negaranya? Justru hingga kini, masyarakat dibebani biaya ini itu. Lebih parah lagi, negara mesti berhutang guna pembangunan. Padahal, pergantian pemimpin, menteri dan wakil rakyat tidak berlangsung sekali dua kali selama kita memasuki usia kemerdekaan yang lebih dari 70 tahun.
Dosen FISIP Universitas Lampung Dedy Hermawan mengatakan pendapatnya tentang pergantian kekuasaan dari eksekutif hingga legislatif. Menurutnya, pergantian kepemimpinan tidak pernah berpengaruh bagi kesejahteraan masyarakat. Terbukti, banyak kepala daerah, menteri hingga DPR tertangkap menyelewengkan uang yang diperuntukkan kesejahteraan rakyat.
Hermawan pun mengungkapkan nada pesimisnya terhadap pemilihan kepala daerah. Katanya, ada kepala daerah hanya membuat susah saja. Kebijakan-kebijakan yang dibuat hanya untuk pemberi modal dana merebut kekuasaan.
Praktek di lapangan berkata demikian. Ambil contoh dari Upah Minimum Regional (UMR). Upah yang diterima oleh karyawan pada tahun 2021 hanya 2,4 juta. Upah yang diterima karyawan sungguh tidak cukup untuk membayar cicilan rumah yang harganya 2,9 juta. Apalagi uang muka yang nilainya 10 hingga 15 juta. Lantas, bagaimana untuk mencukupi? Suami dan istri mesti bekerja.
Mereka harus bekerja dari pukul delapan pagi hingga empat sore. Kalau mereka punya anak maka anaknya mesti diasuh oleh nenek. Kalau tidak punya nenek diasuh oleh tante. Jika tante tak mau mesti menyewa pembantu. Bagaimana membayar pembantu jika upah sepasang suami istri itu hanya cukup membayar angsuran rumah dan makan sehari-hari serta bahan bakar?
Segi upah karyawan saja pemerintah eksekutif dan legislatif belum mampu memberi solusi. Bagaimana mungkin dampak normal dari pilkada dirasakan masyarakat?
Wajar jika Hermawan mengatakan, sejarah pilkada kita tidak terlalu menggembirakan terhadap perubahan kemajuan masyarakat. Salah satu dampak pilkada yang normal adalah perbaikan ekonomi daerah. Kenyataan di lapangan, ekonomi kita tidak baik-baik saja.