Oleh: Alex Manurung
Public Policy Enthusiast
Polri merupakan institusi fundamental dalam struktur kenegaraan yang tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga penjaga stabilitas sosial dan politik bangsa. Pasca pemisahan dari TNI pada tahun 1999, Polri mendapatkan ruang otonom yang lebih luas untuk mengembangkan fungsi dan orientasinya sebagai aparat sipil bersenjata. Namun, dinamika yang terjadi dalam dua dekade terakhir menunjukkan perdebatan serius: apakah Polri membutuhkan reformasi lanjutan atau justru restorasi kelembagaan? Pertanyaan ini memunculkan perdebatan akademis sekaligus politik, sebab menyangkut arah kebijakan keamanan nasional, profesionalisme aparat, serta relasi Polri dengan masyarakat sipil.
Konsep reformasi sering dipahami sebagai upaya membongkar struktur lama untuk menghadirkan wajah baru yang lebih sesuai dengan tuntutan demokrasi. Reformasi Polri pasca 1998 memang melahirkan sejumlah capaian penting, di antaranya pemisahan dari TNI, penegasan fungsi sipil, dan peningkatan akuntabilitas publik. Namun, apakah reformasi perlu terus dilakukan tanpa henti? Sebagian pihak berargumen bahwa Polri adalah anak kandung reformasi, sehingga wacana "reformasi Polri" pasca dua dekade justru terdengar paradoksal. Pertanyaannya, apakah anak kandung reformasi harus terus direformasi, atau cukup direstorasi agar kembali kepada nilai-nilai luhur yang seharusnya dijaga?
Sementara itu, konsep restorasi lebih menekankan pada pemulihan, penataan ulang, dan pengembalian marwah institusi kepada prinsip-prinsip idealnya. Restorasi Polri berarti menegaskan kembali Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dengan mengembalikan integritas moral yang diwariskan tokoh-tokoh seperti Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang dikenal dengan semboyan "polisi jujur, sederhana, dan tidak bisa disuap." Restorasi juga menekankan aspek budaya organisasi yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai orientasi utama, bukan sekadar mengubah struktur kelembagaan secara berulang.
Namun, muncul kontra-narasi yang tidak kalah penting. Jika hanya reformasi yang dikedepankan, mengapa tidak menyentuh pula aspek restorasi? Mengapa Polri saja yang menjadi sorotan reformasi, sementara institusi lain seolah lolos dari sorotan yang sama? Hal ini bisa menimbulkan kecemburuan institusional yang berujung pada disharmoni antar lembaga negara. Dalam konteks ini, mendorong restorasi sebetulnya lebih adil, sebab Polri sejak 1998 telah mengalami transformasi signifikan; yang dibutuhkan bukan dekonstruksi lanjutan, melainkan perawatan dan pengembalian ke nilai luhur.
Narasi ketidaksetujuan terhadap reformasi lanjutan juga muncul dari kalangan internal. Polri adalah aparatur sipil bersenjata yang terikat dengan konsep civil society policing. Masyarakat sipil membutuhkan polisi yang humanis, bukan birokrasi baru yang terus diganti atas nama reformasi. Jika kita mengakui Polri sebagai anak kandung reformasi, maka tindakan merombak kembali dengan jargon "reformasi" justru bisa dipandang sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap produk reformasi itu sendiri. Dengan kata lain, yang diperlukan adalah memperkuat pondasi yang sudah ada melalui restorasi nilai, bukan mengulang dekonstruksi yang melelahkan.
Dari perspektif akademis, saya berpandangan bahwa pendekatan reformasi dan restorasi seharusnya tidak dipertentangkan secara dikotomis. Reformasi dibutuhkan pada titik-titik krusial seperti pengawasan, tata kelola internal, dan transparansi keuangan, sementara restorasi penting dalam ranah nilai, etika, dan kultur kelembagaan. Namun, jika harus memilih salah satu sebagai jalan yang lebih relevan hari ini, maka restorasi tampak lebih masuk akal. Alasannya sederhana: Polri tidak lagi berada dalam fase transisi pasca Orde Baru, melainkan fase konsolidasi demokrasi. Konsolidasi membutuhkan pemulihan marwah, bukan sekadar reformasi struktural tanpa henti.
Kutipan Hoegeng yang terkenal, "Polisi itu bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipercaya," menjadi titik refleksi. Kepercayaan publik tidak dapat dibangun semata melalui struktur baru, melainkan melalui keteladanan, konsistensi moral, dan kesadaran etis dari setiap anggota Polri. Restorasi menjadi kata kunci untuk mengembalikan semangat Hoegeng tersebut, sehingga polisi dapat menjalankan fungsi idealnya di mata masyarakat tanpa terbebani stigma politik atau kepentingan sesaat.
Jika dilihat lebih jauh, dorongan untuk mereformasi Polri justru sering datang dari dinamika eksternal, termasuk tekanan politik dan agenda birokrasi pemerintahan. Padahal, reformasi tanpa restorasi hanya akan menciptakan lembaga yang terus berganti kulit, namun rapuh di dalam. Restorasi justru lebih substansial karena menekankan keberlanjutan dan kesetiaan pada nilai-nilai universal kepolisian. Dalam kerangka ini, restorasi berarti menguatkan kepercayaan publik, mempertegas akuntabilitas, dan mengembalikan orientasi pelayanan publik.