Mohon tunggu...
Aldion Wirasenjaya
Aldion Wirasenjaya Mohon Tunggu... Editor - Journalism is fun

Jurnalis/redaktur di Harian Waspada Medan dan waspada.id

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Jangan Beli Mobil Listrik!

1 November 2019   21:11 Diperbarui: 1 November 2019   21:16 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kendaraan listrik. (thepubliceditor)

Judul di atas bukan bermaksud untuk memprovokasi. Dan saya juga tidak sedang marah-marah. Untuk lebih jelasnya, mari simak skenario berikut ini.

Ben baru saja selesai bekerja, dan ia sedang dalam perjalanan menuju rumahnya di Sonoma County, Los Angeles, Amerika Serikat, dengan mengendarai mobil listrik Tesla Model S.

Di tengah perjalanan, ia menyadari bahwa tenaga baterai kendaraan mahalnya itu tinggal tersisa 10%. Ia lantas memutuskan mampir ke stasiun bahan bakar guna menambah daya.

Untuk diketahui, di AS ada beberapa stasiun pengisian bahan bakar yang menyediakan 'dispenser' bagi kendaraan listrik (electric vehicle/EV). "Sekalian mampir untuk beristirahat sejenak," tukas Ben dalam hati. Mengingat perjalanan dari kantor ke rumahnya berjarak sekitar 30 mil (48 km).

Namun, apa daya. Ketika tiba di lokasi, ia melihat sejumlah EV yang tengah menunggu giliran untuk mengisi baterai. Akhirnya Ben memutuskan untuk langsung tancap gas pulang ke rumah.

Sekitar 1 kilometer sebelum tiba, pria paruh baya itu melihat cahaya merah di balik bukit. "Kebakaran masih jauh, mudah-mudahan api segera padam," gumam Ben lagi. Api yang dimaksud Ben adalah kebakaran hutan yang tengah melanda Negara Bagian California.

Sesampainya di rumah, Ben menyempatkan waktu untuk bercengkrama bersama anak dan istrinya sebelum kemudian mereka beranjak tidur. Saat ketiganya terlelap, ternyata angin kencang bertiup sehingga membuat api bertambah besar.

Sialnya, hembusan angin kering yang menggiring api itu mengarah ke wilayah pemukiman penduduk yang ditinggali Ben dan keluarganya.

Sekitar pukul 05.00, sirine pertanda bahaya meraung, membangunkan warga yang kemudian panik. Mereka tidak menyangka harus menjalani evakuasi dini hari. Secara terburu-buru, Ben dan keluarganya bergegas menyiapkan barang-barang seadanya untuk dibawa mengungsi.

Setelah memasuki Tesla kesayangannya, mata Ben terbelalak melihat jumlah daya baterai mobilnya yang tinggal 5%. Itu tandanya ia tidak bisa menggunakan kendaraannya melewati perbukitan.

"Sayang, aku lupa me-recharge mobil kita," keluh Ben pada istrinya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, perusahaan Pacific Gas & Electric (PG&E), semacam PLN-nya AS, memutus aliran listrik di wilayah itu untuk mencegah meluasnya api serta rusaknya jaringan.    

Mobil itu hanyalah kendaraan satu-satunya yang mereka miliki. Sebelumnya Ben memutuskan untuk menjual Mercedes E class miliknya karena ia terpengaruh gimmick yang ditawarkan oleh nyaris seluruh produsen EV, yaitu kendaraan ramah lingkungan dan syarat teknologi masa depan.

Ben kesal, karena di saat genting kendaraannya tidak dapat digunakan. Akhirnya ia beserta anak istrinya menumpang di kendaraan tetangga mereka, sebuah SUV Toyota 4Runner yang meminum bahan bakar fosil.

***

Skenario di atas benar-benar terjadi, dan Ben tidak sendirian. Ada banyak orang seperti Ben dengan masalah yang sama saat menghadapi bencana yang tengah melanda tersebut.

Sadar akan masalah seperti ini, CEO Tesla Motors, Elon Musk, melalui akun Twitter-nya mengimbau agar para pemilik Tesla memasang alat penampung daya bertenaga matahari yang disebut Tesla Solar Powerwall untuk menanggulangi pemadaman listrik.

Namun, alat itu harganya US$14,100 (sekitar Rp197 juta), belum termasuk ongkos pasang US$2.000 (Rp28 juta).

Saat ini Tesla Motors kelabakan menyediakan dispenser Tesla Supercharger pengisian daya di wilayah California untuk mengatasi pemadaman listrik. Dan sejauh ini usaha tersebut belum efektif.

Alhasil, otoritas setempat mengimbau agar pemilik EV menyediakan generator diesel di rumah masing-masing. Ironis sekali.

Infrastruktur

Dari kasus tersebut, pertanyaannya adalah, apakah infrastruktur pendukung bagi kendaraan bertenaga listrik sudah siap? Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat selalu diimbau untuk beralih dari menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak ke EV.

Sanggupkah pemerintah dan produsen EV menyediakan tempat pengisian daya secara menyeluruh yang minim gangguan? Seperti yang kita ketahui, pasokan listrik di negara kita ini masih sangat buruk.

Kebetulan saya saat ini tinggal di Kota Medan, Sumatera Utara. Di sini, pemadaman listrik bisa terjadi 3 kali dalam seminggu. Dan bisa berlangsung selama 3-6 jam!

Memang, baru-baru ini PLN telah menyiapkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di beberapa titik di Jakarta, Tangerang Selatan, dan Bandung.

Hal ini sangat diapresiasi, namun siapkah pemerintah menghadapi skenario seperti yang dialami Ben? Perlu diingat, negara kita berpotensi mengalami gempa, banjir, dan kebakaran hutan yang dapat dengan mudah meluluh-lantakkan jaringan listrik.

Kemampuan jelajah

Pertimbangan selanjutnya dalam memiliki EV adalah kemampuannya dibawa menjelajah jarak jauh. Dari hasil uji coba independen yang dilakukan laman buyacar.co.uk, mobil Tesla rata-rata memiliki jarak tempuh sejauh 400-500 km sekali charge, tergantung modelnya. Sementara Audi eTron sanggup menempuh 350 km, BMW i3 270 km, dan Nissan Leaf 222 km.

Perlu diingat, jarak tempuh berbanding lurus dengan sehemat apa kita berkendara. Hal itu dipengaruhi oleh banyak hal, seperti muatan, medan jalan yang dilalui, situasi lalu-lintas, seberapa banyak gawai yang tersambung di kendaraan, dan sebijaksana apa pengendara dalam menginjak pedal gas.

Hal selanjutnya adalah, lama pengisian daya. Jika Anda ingin menempuh jarak yang melebihi jangkauan kemampuan kendaraan listrik Anda, maka pemilik harus mengetahui lokasi mana saja yang menyediakan stasiun penambah daya.

Selain itu banyak faktor tidak terduga yang dapat menghambat perjalanan Anda, seperti antrean atau kerusakan pengisian daya dan lain sebagainya.

Untuk antrean tidak dapat dipandang sebelah mata. Meski Nissan Leaf dalam uji coba oleh buyacar.co.uk mampu mengisi daya dari 0-80% dalam 30 menit, hal itu tetap saja masih jauh lebih lama jika dibandingkan dengan kendaraan bermesin bensin, yang hanya membutuhkan waktu 5 menit. Terlebih jika Anda tengah terburu-buru.

Daya tahan 

Bagian ini sangat menarik, mengingat EV digerakkan oleh baterai lithium-ion yang mirip dengan baterai yang ada di gawai kita, namun dengan kapasitas dan kemampuan yang jauh lebih besar tentunya. Seperti baterai pada umumnya, kemampuan alat ini seiring berjalannya waktu pasti akan terus berkurang.

Benar, mesin bensin konvensional juga pasti mengalami hal serupa, tapi dengan durasi yang jauh lebih lama. Mobil berbahan bakar fosil jika mogok di tengah jalan sang pemilik tinggal datang ke bengkel terdekat (yang pasti ada di mana saja). Bagaimana dengan EV? Harus dibawa ke diler pastinya.

Baterai juga sering disebut sebagai pemicu kebakaran. Masih ingatkan Anda tentang gawai Samsung yang sempat dilarang dibawa masuk ke kabin pesawat karena rentan meledak?

Lain lagi seorang pria di Florida selatan yang bernama Omar Awan tewas terbakar hingga jasadnya tidak dapat dikenali lagi setelah Tesla Model S-nya menabrak pohon dan baterai kendaraan tersebut terbakar mengeluarkan asap tebal beracun. Untuk menambah kengerian, dalam keadaan hidup dan mati, ia tidak dapat keluar dari mobilnya karena desain futuristis gagang pintu mobil tersebut mengalami kegagalan

Berikutnya, motor penggerak. Alat ini terbilang canggih karena tidak memiliki perpindahan gigi seperti transmisi manual atau otomatis di kendaraan biasa. Untuk saat ini dapat dipastikan alat tersebut masih sangat mahal. Dan biaya servisnya pun tidak murah.

Transportasi umum

Kendaraan listrik bukanlah barang baru. Perusahaan Detroit Electric asal Amerika Serikat, telah lebih dahulu menjual 13.000 EV sejak 1907 hingga 1939. Namun, karena perkembangan mesin bensin semakin membaik dan murah, akhirnya penjualan mobil listrik kalah telak.

Saat ini industri otomotif dunia berada dalam masa peralihan, dari penggunaan mesin bensin menuju elektrik. Selain harga mobil listrik masih terbilang mahal, masa pakai dan harga jual kembalinya pun sangat rendah. Teknologi pendukungnya masih terus dikembangkan, meski penjualan EV secara global baru berkisar di angka 2%.

Hemat saya, untuk saat ini lebih bijaksana jika kita tetap menggunakan low cost green car (LCGC) atau mobil hibrida yang irit bahan bakar. Mobil hibrida adalah kendaraan yang disematkan dua mesin penggerak, elektrik dan mesin bensin konvensional yang saling mendukung satu sama lain.

Lebih bijaksana lagi jika kita menggunakan transportasi umum. Terlebih, saat ini pembangunan sarana dan prasarana transportasi massal ini tengah digalakkan.

Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud untuk memprovokasi atau menyudutkan pihak-pihak tertentu. Melainkan untuk memberikan fakta yang dihadapi jika Anda memutuskan untuk membeli atau memiliki EV sebagai kendaraan sehari-hari. (Aldion Wirasenjaya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun