Mohon tunggu...
Alvin Revaldi
Alvin Revaldi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pencinta buku

Pencinta cerita fiksi dan fantasi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dominasi Patriarki sebagai Tradisi dalam La Barka: Kajian Kritik Feminis

11 Desember 2021   13:52 Diperbarui: 19 Desember 2021   14:16 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Karya-karya Nh. Dini yang menyangkut penindasan laki-laki terhadap wanita sangatlah mengesankan baik dari segi jumlah maupun mutu. Karya-karya yang telah ia tulis sejak tahun 1960-an hingga sekarang baik yang berupa cerpen, novel, maupun kisah biografis, penuh dengan serangan terhadap laki-laki dan masih menjadi perbincangan yang hangat dikalangan sastrawan dan akademisi.

La Barka (LB) adalah karya Nh. Dini yang penuh dengan ketidakadilan kepada wanita serta kemarahan kepada laki-laki. Yang menjadi salah satu tarik dalam karya ini adalah meskipun secara keseluruhan setting berada di luar Indonesia, yaitu latar tempat dan tokohnya, kecuali tokoh utama wanita yaitu Rina dan anaknya yang orang Indonesia, persoalan serta konflik yang dialami oleh wanita dalam karya ini kerap juga terjadi di Indonesia sehingga banyak nilai dan pelajaran yang dapat dipetik serta banyak inspirasi yang dapat diperoleh oleh pembaca Indonesia.

LB menampilkan permasalahan dan eksistensi wanita yang lebih dikenal dengan women issues. Permasalahan ini dianggap sebagai sesuatu yang actual dan bukan karangan apalagi khayalan, yang sering dibicarakan dan dibahas dalam berbagai seminar, baik oleh pakar sastra maupun mereka yang termasuk dalam Gerakan wanita, dan masih menjadi bahan analisis para akademisi hingga ekarang. Hal ini disebabkan oleh permasalahan wanita (women issues) dianggap berkaitan dengan pandangan masyarakat yang secara tidak langsung dirasakan merugikan kaum wanita. Pandangan tersebut bersumber dari paham patriarki atau patriarchal power yang menganggap bahwa kekuasaan dan seksualitas berada di tangan kaum pria.

Dalam karyanya ini, Nh. Dini menyuguhkan keseimbangan dalam menyampaikan kebenaran. Ini membuat pikiran pembaca semakin terbuka tentang apa yang disampaikan oleh Nh. Dini bukanlah sebuah bualan atau khayalan semata. Dari lima tokoh wanita yang banyak berperan dalam karya ini, tiga merupakan wanita berperangai baik sedangkan dua lainnya  memang benar-benar wanita yang tidak mempunyai akhlak. Dalam karya ini, Nh. Dini juga menampilkan bagaimana dengan mudahnya suami mempermainkan masa depan istrinya berkaitan dengan kehadiran dan ketidakhadiran anak serta kemandirian dan ketidakmandirianitri secara finansial. Dengan menampilkan dua hal yang berlawanan tersebut, membuat mata pembaca semakin terbuka untuk berpikir tentang keadilan bagi wanita.

Konsep patriarki dapat dipakai sebagai dasar untuk menjelaskan asal mula penindasan laki-laki atas wanita. Dalam sistem patriarki, suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri karena suami sebagai kepala rumah tangga. Di lain sisi, istri dituntut agar dapat menyenangkan suami tanpa memerdulikan kebahagiaan dan hak-hak pribadinya. Apa yang dilakukan laki-laki dianggap hal yang benar dan normal, sedangkan apa yang dilakukan wanita dianggap tepat apabila sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh laki-laki.

Dalam masyarakat jawa, sistem patriarki dimana suami menjadi kepala keluarga yang berfokus pada hal-hal yang terjadi di luar rumah, termasuk mencari nafkah, dan suami dianggap tidak pantas menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan termasul mengasuh anak merupakan tanggung jawab istri. Dengan adanya anggapan tersebut, menjadi sebuah kelaziman bila suami dilayani oleh istrinya. Bahkan masyarakat akan memberikan penilaian negatif kepada istri kika tidak melayani suaminya. Jika suami berbuat kasar terhadap istri, istri tetap wajib melayani suaminya. Sikap demikian wajib ditunjukkan karena suami dalam tradisi jawa diharapkan dan dianggap lebih tua dari daripada istrinya. Oleh karena itu, istri yang tidak melayani suaminya akan mendapat kesan yang buruk dalam masyarakat. Selain alasan tersebut, alasan lainnya adalah untuk menghindari perceraian sebab dalam tradisi jawa, anak dianggap sebagai pembawa kebahagiaan dan jaminan hari tua tetapi karena perceraian pastinya anak yang masih kecil akan ikut ibunya karena dianggap sangat bergantung pada ibunya.

La Barka merupakan nama sebuah rumah besar atau villa di Perancis yang mana Rina, seorang wanita jawa yang bersuami pria Perancis, Bonin, menghadapi masa kesendiriannya. Kehadirannya di La Barka Bersama dengan anaknya bertujuan untuk menenangkan diri sambil menunggu proses perceraiannya dengan sang suami. La Barka dimiliki oleh Monique, seorang janda tanpa anak yang merupakan teman baik Rina. Pertemuan kembali keduanya merupakan ajang reuni bagi mereka untuk berbagi luka dan duka akibat kesewenang-wenangan suami. Di tempat itu, rina mengurai perjalanan hidupnya kemudian menbaginya ke dalam kebahagiaan dan penderitaan masa lalu dan masa kini. Di tempat itu juga Rina mencoba untuk mencari solusi darui masalah yang sedang ia hadapi demi kebahagiaan anaknya yang belum pernah merasakan kasih saying ayahnya. Kesewenang-wenangan tersebut berupa hinaan terhadap Rina yang berlangsung dimana saja, penyia-nyiaan anak, pengabaian kebutuhan seksual Rina, dan perselingkuhan.

Konfik internal Rina memunculkan konflik eksternalnya dengan suaminya, Bonin. Pada awalnya, rina dapat menerima perlakuan ewenang-wenag Bonin yang menghinanya dimana saja tetapi setelah mengetahui perelingkuhan Bonin, dia mulia mengambil sikap tegas dengan menentang dan dibalasnya Bonin dengan perlakuan yang sama. Lantas komunikasi antar keduanya pun benar-benar hancur. Pada dasarnya Rina ingin mempertahankan rumah tangganya, akan tetapi karena sikap Bonin yang dia benci dan tidak kunjung berubah, maka Rina memutuskan untuk mengajukan perceraian.

Perlakuan Bonin kepada Rina dipengaruhi oleh sistem patriarki yang menindas kaum wanita, baik dalam lingkungan rumah tangga maupun dalam masyarakat. Karena dalam sistem ini dianggap suami berkuasa atas istrinya atau istri dianggap berada di bawah kekuasaan suami menyebabkan suami berhak berbuat sesuai kehendaknya kepada istrinya. Bonin merasa dirinya sebagai kepala keluarga berhak menentukan apa saja, termasuk "hak bicara" Rina.

Anggapan bahwa laki-laki adalah mahluk rasional dan wanita adalah mahluk emosional terlihat tidak selamanya demikian dalam cerita ini. Bonin menganggap bahwa dirinya selaku suami dapat dengan bebas mengekspresikan emosinya hingga dia tidak ragu untuk melontarkan kata-kata tajam dan kurang pantas kepada Rina kapan saja. Dia tidak takut dihakimi dan dikucilkan oleh masyarakat karena perbuatannya sebab hal terebut dapat diterima oleh masyarakat dan menganngap bahwa suami berhak mengekspresikan emosinya.

Bonin mengacuhkan kebutuhan seksual Rina karena dianggap bahwa suami memiliki hak hawa nafsu dimana hanya suami yang dipentingkan dalam kebutuhan seksual sementara kepuasan wanita tidak dihirakan. Dengan kata lain, istri memiliki kewajiban untuk memuaskan kebutuhan seks suaminya sedangkan sebaliknya suami tidak. Atas dasar pemikiran ini, Bonin memperlakukan Rina sebagai objek seksnya semata. Bahkan Bonin beranggapan bahwa dia boleh mencari kepuasan lain di luar rumah ketika istrinya tidak dapat memenuhi kewajibannya selama hamil dan selepas melahirkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun