Karena lama merantau di tanah Jawa terutama Jogja dan kini Jombang nasihat para guru, kiyai dan orang tua angkat ialah tentang pentingnya ngalah. "Sing gelem ngalah, iku sing menang," kata seorang kiai di pesantren dulu.
Ngalah bukan berarti kalah, melainkan memberi ruang agar hati tetap teduh. Seperti pepatah dalam tasawuf, "Man shabara zhafira" artinya: siapa yang bersabar, dialah yang menang.
Sabar bukan pasif, bukan pula tanda lemah. Ia justru kekuatan dan simpil tenang, sebagaimana air yang tak tergesa tapi selalu sampai di muara.
Teringat pesan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin:
"Sabar adalah setengah dari iman, karena iman terdiri atas dua bagian---separuhnya sabar, separuhnya syukur."
Lalu nyonya, dengan segala kesederhanaannya, seolah menghidupkan makna kalimat itu. Ia tidak banyak bicara, tapi tindakannya mencerminkan ajaran yang lebih dalam dari sekadar teori.
Ngalah itu Kemenangan
Di zaman yang serba cepat ini, kita seringkali menganggap keras kepala sebagai bentuk tegas. Kita ingin menang dalam perdebatan, unggul dalam argumen, dan menjadi benar di mata orang lain.Â
Padahal, kemenangan sejati sering kali justru datang dari keberanian untuk mengalah. Maaf jika tulisan ini bertutur dengan nuansa falsafah, tapi memang demikianlah adanya.Â
Nyonya mengajarkan bahwa tidak semua yang harus dimenangkan perlu diperjuangkan dengan suara keras. Kadang cukup dengan diam, senyum, dan langkah kecil yang penuh makna lagi hikmah.
Senerai Penutup: Hikmah dan Kasih
Pernikahan bukan hanya tentang cinta yang romantis, tapi juga latihan batin untuk menjadi manusia penuh hikmah. Melalui nyonya, saya belajar sabar, ngalah, dan menundukkan ego. Dahulu hanya saya baca di buku tasawuf, kini hadir nyata dalam keseharian.
Kalau sabar itu ibarat air, maka nyonya adalah sumbernya yang jernih. Dari sana kita menimba makna, meneguk hikmah, dan belajar menenangkan diri di tengah hiruk pikuk dunia.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!