Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Menulis dan membaca sejarah, penikmat kopi, pecinta budaya juga sastra. Kini menjadi suami siaga untuk nyonya tercinta sebagai pekerjaan tetap.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

3 Falasafah Kemerdekaan Untuk Pernikahan

16 Agustus 2025   13:05 Diperbarui: 16 Agustus 2025   13:05 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekelumit pernikahan kami yang mendekati usia satu tahun pernikahan. Masih terbeliang baru dan sangat muda usia pernikahan. 

Untuk itu kami mencoba merenungi laku agar pernikahan menjadi lebih erat lagi hangat saling menguatkan. Nah di momen kemerdekaan ini, kami mencoba merajutnya menjadi falsafah untuk kokohnya sebuah pernikahan.

Beradasarkan artikel sebelumnya yang kami urai berjudul: "Merdeka 'Tanpa' Kemerdekaan". Kami memahami bahwa falsafah sebuah kemerdekaan adalah kedaulatan. Itulah sebabnya, dalam pernikahan juga perlu kedaulatan dan kami terilhami dari falsafah kemerdekaan itu sendiri. 

Berikut tiga falsafah kemerdekaan dengan memaknai arti kedaulatan. Kami rajut sebagai pondasi rumah tangga muda.

Pertama, Memberi Ruang Kedaulatan untuk Diri Sendiri

Pernikahan sering dipersepsikan sebagai ikatan total, hingga kadang lupa bahwa manusia tetaplah pribadi utuh. Ada benarnya, bahwa pernikahan itu sebaiknya tidak terlalu mengekang agar kedaulatan diri masing-masing terus bertambuh.

Psikolog John Gottman dalam penelitiannya tentang marriage stability menegaskan bahwa pasangan yang sehat justru saling memberi ruang individu, bukan mengekang. Gottman menyebutnya positive sentiment override---rasa percaya yang begitu besar, sehingga pasangan tidak merasa curiga meski salah satunya sibuk dengan ruang pribadinya.

Di rumah, saya tetap punya jam menulis, nyonya punya ruang membaca dan me-time. Kadang saya tenggelam dengan asyiknya menulis, sementara ia sibuk menata rumah.

Aneh tapi nyata, justru momen itu membuat kami semakin rindu dan saling menghargai. Kedaulatan kecil inilah yang kelak menjaga api cinta tetap menyala.

Kedua, Kedaulatan Sebagai Pasangan

Kedaulatan sebagai kedua pasangan sah baik secara tuntunan agama maupun resmi dalam catatan pernikahan kenegaraan. Kami belajar untuk tidak terlalu peduli dengan "mata luar". Entah komentar tetangga, penilaian kerabat, atau ocehan rekan kerja.

Bagi kami, menjaga keintiman lebih utama daripada memikirkan standar orang lain. Penelitian dari Journal of Family Psychology (2019) menemukan bahwa pasangan yang mampu menegaskan batas dengan lingkungan sosial justru memiliki marital satisfaction (perasaan bahagia dalam pernikahan) lebih tinggi. Sebab mereka fokus menjaga kualitas hubungan internal, bukan reputasi eksternal.

Belakangan kami sering tertawa bersama ketika ada yang mengomentari miring tentang kami. Saya kadang berujar, "bodo amat aja ya kita sayang, kita fokus wujudkan rumah impian: jejer Rubicorn dan mobil listrik di bagasinya, hehehe". 

Ternyata keteguhan kecil di atas membuat kami merasakan nikmatnya menjadi pasangan yang benar-benar berdaulat: tidak terikat pada ekspektasi siapapun selain Allah dan hati kami sendiri.

Akhirnya, kami fokus menjaga keintiman pernikahan yang semakin dalam sebagai wujud kedaulatan sebagai pasangan suami-istri. Ini hal yang jauh lebih penting.

Ketiga, Kedaulatan Membangun Keluarga Kecil

Yang paling menantang adalah fase berikutnya: membangun keluarga kecil. Dalam hitungan minggu alias berbilang 2 bulanan lagi, kami akan menyambut anak pertama. Tentu banyak diskusi tentang bagaimana cara mendidik, menyiapkan rumah tangga yang sehat, hingga urusan kecil seperti perlu atau tidaknya membeli mainan mahal.

Kami akhirnya sepakat untuk memulai kedaulatan pendidikan. Misalnya, anak tidak dikenalkan gadget sejak dini. Penelitian American Academy of Pediatrics (2021) menegaskan, paparan gawai sebelum usia dua tahun berhubungan dengan keterlambatan bahasa dan masalah perilaku. 

Kami sepakat gaya parenting dalam mendidik, tidak membelikan barang untuk "boros" tapi ganti dengan membeli buku sepuasanya agar dunia literasinya berkembang sebaik mungkin. Inilah langkah "kecil" kami membangun kedaulatan keluarga kecil kami. 

Dalam hemat saya, inilah bentuk kecil dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan keluarga. Tidak mudah memang, tapi siapa lagi yang bisa menjaga kedaulatan keluarga, kalau bukan kami sendiri?

Belajar dari Kemerdekaan Republik Kita 

Merdeka bukanlah hadiah, melainkan perjuangan panjang. Begitu pula pernikahan. Ia tidak otomatis bahagia hanya karena ada akad, tanda tangan, atau pesta. Bahagia adalah hasil dari perjuangan sehari-hari, sama halnya dengan bangsa yang harus terus mengisi kemerdekaan.

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Filosofi ini pun relevan dalam keluarga. Suami-istri harus saling meneladani, bersama membangun kehendak, dan saling mendorong dalam perjalanan rumah tangga.

Kami belajar, menjadi pasangan suami-istri bukan soal siapa yang memimpin dan siapa yang mengikuti, melainkan bagaimana kedaulatan itu dibagi, sehingga masing-masing merasa dihargai.

Semoga Falsafah Ini Menjadi Bekal

Pernikahan kami memang masih belia. Mungkin bagi sebagian orang, pengalaman satu tahun terlalu singkat untuk berbicara falsafah. Tapi justru di masa muda inilah kami belajar meneguhkan pondasi.

Tiga falsafah kemerdekaan yang kami uraikan---kedaulatan diri, kedaulatan pasangan, dan kedaulatan keluarga kecil---semoga menjadi bekal. Kami sadar perjalanan masih jauh, namun langkah kecil inilah yang membuat kami yakin: pernikahan bukan sekadar ikatan, melainkan perjuangan menjaga keutuhannya bersama.

Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi secercah lentera penerang kita semua. Karena seperti bangsa, rumah tangga pun perlu kemerdekaan yang sejati.

Salam, 

a.r, 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun