Hari ini kita menyaksikan beragam kericuhan di dalam negri kita sendiri. Ya, "kacau" di sana-sini.Â
Kita menyaksikan bersama tentang narasi Indonesia Gelap, Keluar Aja Dulu, hingga ramainya aksi pengibaran bendera One Piece. Ini terjadi pada momen bulan kemerdekaan.Â
Fenomena di atas terjadi di negri yang menjadikan alam demokrasi sebagai "pil" untuk sistem bernegaranya. Demonstrasi, protes hingga perlawanan akar rumput pasti dan tentu akan menghantui sebagai bentuk penyimpang pada koreksi kekuasaan.Â
Belum lagi diperparah dengan isu pajak nasional. Akar rumput alias masyarakat bawah hingga berbagai kalangan melempar protes tanpa henti. Beragam bentuknya memang, ada yang kritis dan tegas juga ada yang sekedar menjadikannya lelucon untuk konsumsi media sosial hehehe.Â
Hari-hari Yang MelelahkanÂ
Masalah akar rumput masyarakat itu terjadi dan nyata. Realitas yang ada ialah ketimpangan ekonomi, berdasarkan laporan Trading Economics bahwa Indonesia menduduki peringkat paling atas sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi se-Asia Tenggara dengan menyumbang angka pengangguran sebesar 4,76%.Â
Belum lagi kita menyaksikan dampak ketimpangan yang dihasilkan oleh pejabat korup. Baik kasus-kasus yang sudah terungkap atau belum dari tingkat kementrian hingga pejabat daerah.Â
Demontrasi pun terjadi di sana-sini. Bukankah ini adalah hari-hari yang melelahkan bagi masyarakat bawah yang terancam berada dibayang-bayang garis kemiskinan?
Nampaknya hari-hari ini kita hanya merayakan slogan kemerdekaan. Kita belum merayakan kemerdekaan sesungguhnya. Tan Malaka pernah mengingatkan, "setelah kita merdeka secara politik, perjuangan berikutnya adalah meraih kemerdekaan yang sejati (kedaulatan rakyat)".Â
Menuju Kemerdekaan Sejati
Kemerdekaan sejatinya bukan hanya sekedar slogan kosong. Isinya hanya menjadikan rakyat sebagai tumbal dengan terus memelihara kepentingan elit, partai politik dan lain sebagainya.Â
Bung Hatta pernah menuturkan, "untuk mencapai Indonesia merdeka perlu terbentuk rasa kebangsaan yang kuat. Kebangsaan ini bersifat kerakyatan, bukan bersifat ningrat (elit) seperti yang di jumpai pada (zaman kolonialisme; penjajahan Belanda) feodalisme.Â