Enam hari, tiga pembunuhan brutal terjadi membuat mata ini sulit untuk terpejam, membayangkan Indonesia di masa depan.
Di Indramayu, satu keluarga meregang nyawa hanya karena persoalan uang sewa mobil Rp750 ribu. Di Surabaya, seorang perempuan dimutilasi menjadi 554 potongan oleh kekasihnya sendiri. Di Sidrap, seorang pekerja seks tewas ditikam akibat cekcok tarif.
Tiga peristiwa ini bukan kebetulan, yang terjadi sebelumnya sangat banyak seperti pembunuhan pemilik sebuah yayasan seorang ibu dan anak gadisnya terbunuh dengan cara yang brutal dan pelaku utama adalah mantan suaminyaÂ
Mereka adalah potret retaknya moral bangsa. Perselisihan kecil meledak menjadi tragedi berdarah. Harga nyawa manusia jatuh seakan tidak lebih tinggi dari nafsu sesaat atau ego yang tersulut.
Kepolisian patut diapresiasi. Dalam tiap kasus, aparat bergerak cepat, membongkar misteri, hingga menjerat pelaku. Dari menelusuri potongan tubuh di semak belukar, membongkar liang kubur massal di halaman rumah, sampai mengurai rekaman CCTV di lorong wisma, kerja keras itu menunjukkan bahwa negara tidak tinggal diam menghadapi kekejaman.
Namun, penegakan hukum hanyalah benteng terakhir. Persoalan sebenarnya ada di hulu: mengapa kita melahirkan generasi yang mudah menjadikan kekerasan sebagai jalan keluar?
Jawaban getir itu ada pada sistem pendidikan dan budaya masyarakat kita. Sekolah dan keluarga terlalu sering menomorsatukan nilai akademik, sementara moral dan etika dibiarkan tercecer. Akibatnya, kita melihat tawuran, bullying, narkoba, hingga seks bebas menjadi hamparan terbuka di tengah kehidupan pelajar dan mahasiswa. Semua itu adalah alarm bahwa pendidikan kehilangan jiwa.
Padahal, kita bisa belajar dari pengalaman bangsa ini dalam menanggulangi terorisme. Program deradikalisasi berjalan efektif, terarah, dan melibatkan banyak lembaga. Negara sigap bergerak, dan hasilnya ideologi terorisme perlahan memudar. Pertanyaannya: mengapa sistem yang terukur dan terarah itu tidak dipakai untuk memperbaiki kenakalan pelajar?
Jika negara tidak menjadikan pembangunan moral dan karakter sebagai prioritas, maka negara sama saja membiarkan potensi kehancuran. Bukan kehancuran infrastruktur, tapi kehancuran jiwa. Nilai kemanusiaan dan kebangsaan akan lumer seperti lilin yang habis terbakar.
Bangsa ini tidak hanya butuh aparat yang sigap menghukum, tetapi juga generasi yang mampu menghargai hidup, mengendalikan amarah, dan menyelesaikan masalah tanpa darah. Pendidikan moral bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak.
Keadilan ditegakkan di pengadilan, tetapi masa depan bangsa ditentukan di ruang kelas dan ruang keluarga. Jika kita gagal memperbaikinya, maka tragedi enam hari hanyalah bagian kecil dari badai besar yang menunggu di depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI