Mohon tunggu...
aktif70
aktif70 Mohon Tunggu... Inisiator dan konseptor - Ketua umum Indonesia Contra Terror (ICT)

Hobi olah raga dan menulis, "kamu tidak belajar duduk di depan buku tapi di Medan perjuangan"

Selanjutnya

Tutup

Diary

Refleksi ke V : Lapas Tanggerang Baru-Nilai kepemimpinan

4 September 2025   18:02 Diperbarui: 4 September 2025   18:57 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku duduk di bangku di posko organisasiku ICT, kopi pahit baru saja tersenggol tangan dan tumpah, satu bulan lebih aku kehabisan kata untuk memulai kembali kisah perjalanan panjang dalam kehidupanku.

Kini aku memulainya kembali


Aku adalah aku, lahir, besar, dan tumbuh dalam proses yang Allah kehendaki. Semoga kisah ini jadi renungan, jadi pelajaran, memberikan manfaat bagi siapa pun yang membaca.

Tubuhku aku baringkan, menatap langit-langit beton kamar penjara. Letih masih terasa. Rekonstruksi kemarin menyisakan lembaran baru---tentang istriku, tentang masyarakat, tentang dari mana aku harus menimbang ulang semuanya.

Lamunanku terputus ketika seorang polisi penjara yang sudah kukenal datang.
"Assalamualaikum, ustadz. Ada surat..."
Aku bangkit, mengambil amplop itu.
"Surat apa, Pak?" tanyaku.
"Sepertinya ustadz akan dipindah ke Lapas," jawabnya singkat.

Beberapa hari kemudian, aku dan tiga SPK---Zaki, Ibnu, dan Ade---dikeluarkan dari mobil tahanan. Tangan masih terborgol. Serah terima tahanan berlangsung singkat antara Densus 88 dan petugas Lapas Tangerang Baru. Setelah borgol dibuka, kami dikawal masuk.

Lorong panjang berwarna biru menyambut langkah kami. Bau lembab khas penjara langsung menyusup ke hidung. Sesekali kami berpapasan dengan napi lain---senyum mereka menggantung, kaku, seolah dipaksa, mata tertunduk penuh takut kepada sipir.

Di ujung lorong, kami naik tangga. Aroma semakin menyengat. Bau keringat basi, kamar mandi mampet, tubuh manusia yang menumpuk dalam ruang sempit. Kamar-kamar terkunci, tapi tatapan napi di balik teralis menusuk, liar, seperti hendak menerkam. Gedung itu bulat, kamar-kamar melingkar. Kami dimasukkan ke sebuah ruang kosong berukuran 3x4 meter. Pengap. Jendela berbesi. Toilet jongkok penuh lumut. Tikar plastik tipis di atas lantai keramik.

Tiga hari kami bertahan di kamar isolasi itu.
Pengap, bau, sesak. Tapi naluri mulai pulih. Aku mengamati psikologi tiap penghuni kamar. Mereka semua takut, patuh, tunduk pada sipir.

Suatu pagi, aku berdiri di pintu. Tanganku meraih gembok besar itu. Aku beturkan berulang-ulang ke plat besi. "Trak... trak... trak..." Suaranya memecah lorong. Kawan-kawan berdiri di belakangku.

"Hooi, berisik, bangsat!" teriak napi lain dari balik jeruji.
Aku tidak peduli. Satu jam aku teruskan. Hingga seorang sipir muncul, wajahnya setengah bingung.
"Kenapa ustadz?" tanyanya.
"Buka gemboknya. Keluarkan kami dari sini. Saya bukan tahanan baru," jawabku tegas.
Ia mengangguk pelan. "Baik, pak. Saya laporkan ke pimpinan dulu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun