Keesokan paginya, aku mendapat lem power blue dari seorang napi. Saat jam sarapan, setelah gembok kamar dibuka, aku dan ikhwan lain memasukkan lem itu ke lubang kunci gembok kamar. Satu per satu. Semua kamar ikhwan terkunci permanen. Mereka protes karena hampir setahun tidak pernah diizinkan keluar kamar. Sedangkan napi lain bebas berkeliaran.
Siangnya, aku dipanggil Kalapas. Aku sudah bisa menebak suasana. Blok penuh sesak. Napi berkerumun di belakang sipir. Kami masuk, berdiri di tengah. Kalapas menatapku tajam.
"Siapa yang merusak gembok?" suaranya berat.
"Ana." Aku angkat tangan.
"Kalian tahu ini milik negara? Kalian sudah bikin kesalahan besar. Kalian akan sulit bebas dari sini."
Aku menatapnya lurus. "Tidak masalah. Bukan bapak yang memasukkan kami ke penjara ini, bukan bapak juga yang akan membebaskan kami. Tapi Allah."
Kalapas berusaha menahan emosi. "Tapi tidak begini caranya. Kalian merusak fasilitas negara."
Aku melangkah setengah maju. Suara lantang, tegas:
"Kalau di luar kami siap untuk mati, maka di dalam penjara ini pun kami siap untuk mati!"
Hening.
Kerumunan yang tadi riuh mendadak sunyi. Semua menatap kami.
Benturan dengan Sipir
Bukan sekali, bukan dua kali kami berbenturan dengan sipir.
Bukan karena kami beringas.
Bukan karena kami haus keributan.
Kami hanya ingin diperlakukan sebagai manusia.