Beberapa menit setelah nya kami masuk dalam sebuah kamar, aroma khas kamar penjara 3x4 meter dengan kamar mandi dan toilet kotor - pintu besi pun di kunci kembali dari luar, Krak. Â
Aku berdiri di pintu terali, memperhatikan kamar kamar lain, ada dua sampai tiga napi yang tajam menyoroti mata ku seperti hendak menerkam, aku tak membalas, aku tak ingin memperbanyak musuh, mungkin mereka Belem mengenal aku
Tiga hari kami bertahan di kamar isolasi itu.
Pengap, bau, sesak, naluri mulai pulih. Pembacaan ku telah usai, kehormatan harus di perjuangkan.
Aku berdiri di pintu. Tanganku meraih gembok besar itu. Aku benturkan berulang-ulang ke plat besi. "Trak... trak... trak..." Suaranya memecah ruangan isolasi, Kawan-kawan berdiri di belakangku.
"Hooi, berisik, bangsat!" teriak napi lain dari balik jeruji.
Aku tidak peduli. Sekitar satu jam kegaduhan aku ciptakan, seorang sipir muncul, wajahnya setengah bingung.
"Kenapa ustadz?" tanyanya.
"Buka gemboknya. Keluarkan kami dari sini. Saya bukan tahanan baru," jawabku tegas.
Ia mengangguk pelan. "Baik, pak. Saya laporkan ke pimpinan dulu."
Tak lama kemudian, pintu kami dibuka. Barang-barang dikemas, lalu kami dipindahkan ke kamar bawah, udara lebih segar, mungkin karena tempatnya lebih bersih, aku tersenyum , aku telah bebas dari kamar isolasi, seharusnya tiga bulan di kamar isolasi itu, tapi ini hanya tiga hari, memang kehormatan harus di perjuangkan.
Hari itu juga, kami mulai bertemu dengan ikhwan lain. "Assalamualaikum, ustadz," sapa sekelompok orang. Mereka menyalami kami satu per satu.
"Waalaikumussalam."
"Kami ikhwan dari Bima. Ada sembilan orang di sini."
Aku menatap wajah-wajah mereka. Berminyak, letih, tapi penuh harap. Dari mata mereka, aku dapat energi baru.
Beberapa hari kemudian, selepas sholat Jum'at, kami duduk melingkar di kamar salah satu ikhwan. Suasana serius.
"Ustadz," kata Abtoro, salah seorang dari Bima, "kami sudah bermusyawarah. Kami sepakat mengangkat antum sebagai Amir safar."
Aku terdiam.
"Afwan, ana bukan ustadz. Ana juga tidak banyak ilmu. Jangan ana," jawabku menolak.
Mereka bersikeras. "Tidak, ustadz. Kami sudah sepakat. Kami sami'na wa atho'na."
Aku menatap mereka satu per satu. "Tapi, ana keras. Ana otoriter. Maukah kalian dipimpin dengan cara itu?"
"Tidak masalah, ustadz."
Aku menarik nafas panjang. "Baik..." kataku pelan. Beban terasa menimpa pundak. Kami semua berjabat tangan. Mereka memelukku erat. Dari mata mereka, aku lihat cahaya baru.