Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Love Story of Dreaming Part 10

28 Juni 2022   15:04 Diperbarui: 28 Juni 2022   15:06 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Part 10. Guru Idola

Keti tak menyia-nyiakan kesempatan untuk melanjutkan Sekolah. Dalam masa orientasi atau MOS berjalan, ia tengah mengelilingi lapangan. 

Rambutnya dikuncir dua dengan pita berwarna bendera Indonesia. Keti tak nyaman dengan penampilannya itu. Karena terbiasa dikucir satu sesuai bentuk wajah tirusnya.

Di sebelah kiri Sekolahnya terdapat Gereja Luca, tempat ibadah umat kristiani. Pemilik sekolah non muslim, pengajar di sekolah ini juga kebanyakan non muslim. Meski begitu Suketi pandai bergaul dengan siapa saja. Dia tak pernah melihat dari sisi agama suku ras yang berbeda.

Menurut gadis itu yang membedakan manusia ialah dari segi kebaikannya. Yang terpenting buatnya dia sekarang bisa melanjutkan Sekolah. Ia berharap setelah mendapatkan ijazah SMA akan mudah mencari pekerjaan.

"Hai... , kamu ngapain di situ ayo cepat masuk!" 

Perintah seorang guru yang berdiri di depan kelas.

Seorang guru, pria paruh baya yang usianya belum mencapai empat puluhan itu memakai kemeja kotak-kotak, hidung sangat mancung, bentuk tubuhnya tegap dan berotot ada tahi lalat di atas bibirnya. 

Bentuk wajah yang masih memiliki pesona, tegas berwibawa dan kini tampaknya masih belum bersahabat dengannya.

Keti mendapatkan tempat duduk paling depan bersama teman yang baru ia kenal. Bernama Mila, dilihat dari mata sipitnya Keti menebak Mila termasuk keturunan orang cina. Ia memiliki sikap yang sangat ramah ketika mempersilahkan Keti duduk di sampingnya.

Guru yang menyuruh Suketi masuk beliau mengajar pelajaran fisika. Dalam perkenalan dengan semua murid beliau nanti yang akan menjadi wali kelas satu.

Keti memandang gurunya dengan ekspresi yang tak wajar. Dia tersenyum sendiri seolah mendapatkan sesuatu hal yang menarik di otaknya. Tertarik dengan pesona sang guru muda.

Suara gebrakan meja membuyarkan lamunan Keti. Jantungnya hampir copot beruntung Keti masih bisa membatu.

Brak..!!

"Keluarkan bukumu!" Ujar Pak Guru.

Keti sangat malu ternyata dari tadi ia hanya melamun sendiri. Mejanya belum terisi buku dan alat tulis. Pantas saja Pak guru menegurnya. Segera ia keluarkan apa yang diperintahkan.

Pelan-pelan dia menghembuskan napas panjang agar lebih rileks.

Kemudian pak guru menanyakan namanya.

"Suketi, Pak."

Jawaban Suketi mengundang tawa dari semua teman. 

Guru yang ia idolakan ini begitu tegas dan antusias membuat Keti menjadi salah tingkah. Pelajaran fisika pun dilanjutkan, Mila memandangnya heran.

"Mil, guru tadi namanya, siapa sih? galak banget."

"Haha..., makanya jangan telat masuk! udah gitu ngelamun di kelas lagi. Namanya Pak Dika, Ti."

"Ohh..."

Nama guru idolanya sangat keren pikirnya lagi dari dalam hati.

**

Seragam putih abu-abu yang ia kenakan membuat Suketi lebih percaya diri. Lalu menatap cermin yang sudah retak. Ini adalah cermin yang dia miliki dari kepunyaan sang ibu waktu muda. Keti tak mampu membeli bedak yang baru yang ada cermin-nya. Jadi untuk sementara waktu dia pakai ini saja.

Keti sendiri memang tak suka memakai bedak hanya saja gadis remaja itu ingin seperti teman-teman perempuannya yang suka dandan. Sebenarnya tanpa bedak pun wajah Suketi masih terlihat cantik dan alami. Demi mencari perhatian guru idolanya. Dia wajib tampil beda.

Untung saja temannya tak ada yang memperhatikan dengan perubahannya sekarang. Kalau iya mereka akan menertawakannya.

Cara Suketi mengagumi Pak Guru membuatnya menjadi bertanya-tanya. Apakah ini yang disebut dengan mengagumi? Atau hanya bumbu semangatnya saja agar rajin belajar.

Entahlah, yang jelas Keti selalu senang jika bertemu dengan guru idolanya. Guru fisika yang sering dipanggil Pak Dika oleh semua murid di Sekolahnya.

Semenjak Pak Dika lebih memperhatikan Suketi karena nilai ulangannya selalu tinggi. Keti lebih bersemangat pergi ke sekolah. Keti jadi sering berangkat pagi-pagi sekali. Sampai membuka gerbang yang tertutup, menyapa tukang kebun yang sedang menyapu halaman. Dalam keadaan sekolah sepi. Kira-kira belum ada jam setengah 7, Keti sudah datang lebih dulu.

Saat sampai di depan kelas, "Lah kok belum ada yang datang." 

Keti menghembuskan nafas. Tas jinjing dibiarkan tergeletak di meja, ia beranjak ke luar menuju lapangan sekolah.

Duduk di batu di bawah pohon mangga memandangi kakak kelas yang baru saja datang lalu memarkirkan kendaraan roda dua. Yang lokasinya juga tidak jauh dari lapangan.

Saat Keti mulai bosan seseorang menepuk punggung, ternyata Yogi teman sekelasnya.

"Pagi-pagi udah melamun ja."

"Ih, kamu Yo. Kaget tahu," jawabnya sambil memajukan bibir ke depan.

Ia malah tertawa kecil. Kemudian duduk di samping Keti. Gadis itu lekas bergeser memberi jarak panjang lengan tangan kanannya. Untuk duduk berdampingan.

"Berangkat jam berapa?"

"Setengah tujuh."

"Sama," tanyanya lagi.

"Sendiri," ucapku ketus.

"Kenapa gak bareng sama Deva?"

Pertanyaannya membuat Keti enggan menjawab, Keti lekas meninggalkan Yogi masuk ke dalam kelas. Dia terus saja membuntuti. Teman yang satu ini memang sulit dimengerti. Keti terus menghindar.

Mila datang dengan senyum yang merekah berkata, "Hari Minggu mau nggak main ke rumahku."

Tentu saja Suketi mau. Yogi menyambar, "Aku boleh ikut kan, Mil."

"Boleh aja asal ajak Deva sekalian," ujar Mila.

Ajakan Mila yang semula membuatnya bersemangat kini malas untuk ikut. Keti berdecak, mengapa harus melewatkan waktu sepanjang hari dengan Deva, laki-laki remaja yang usil mengerjainya. Lebih mengesalkan lagi, hari ini Suketi tak bisa melihat guru idolanya. Ia baru ingat jika hari ini tidak ada pelajaran Fisika.

Waktu pelajaran lain Suketi tak memiliki semangat, sampai membuat puisi di belakang sampul buku.

Puisi Guru Idola

Semangat itu tumbuh 

Tumbuh mekar bersama dengan

Hadirnya pak guru

Di sekolah ini

Guru mana yang singgah

Teguran mana yang kudapati

Yang ku patuhi 

Yang ku dengar

Selain pak guru ini, berinisial 'R'

Saat guru bahasa Indonesia akan melewati bangku yang ia duduki. Keti buru-buru membalikkan kertas buku. Beruntung masih sempat. Jika ketahuan ia pasti akan disuruh membacakan puisi catatan tadi di depan kelas.

Keti mengelus dada, sedari tadi detak jantungnya mulai tak beraturan. Semua yang ia pikirkan tidak menjadi kenyataan. Dan, proses belajar kembali berjalan lancar.

....

"Kata Yogi sedari pagi kamu terus melamun, ada masalah apa?"

"Apa sih, Dev? Ganggu aja, ih. Sana." Keti menyuruhnya pergi tetapi terlambat, Deva sudah duduk di mejanya.

"Lagi datang bulan ya, Ket. Jutek gitu."

Keti sibuk menulis tugas dari guru bahasa Indonesia. Deva menutup sampul bukunya. Keti memandangnya dengan geram. Deva ini selalu saja usil, mengganggu ketenangannya di waktu istirahat.

"Bisa nggak jangan ganggu aku, Dev."

Deva tersenyum, "Kamu kalau lagi marah cantik tahu."

"Izzz_"

Keti sempat tersenyum dibilang cantik oleh Deva. Keti merasa tak sia-sia memakai bedak ibu sebelum datang ke sekolah. 

"Nggak ke kantin, Ket. Aku bawa cemilan, ini untukmu." 

Deva memberikan cemilan kacang atom dengan rasa asin nan renyah. Keti menyukai rasanya.

"Dev, Mila sudah bilang belum kalau besok mau main ke rumahnya."

Keti kembali bersikap wajar, sifat bak peri muncul karena disogok cemilan oleh Deva.

"Belum sih, tapi jika ya aku akan ikut main ke san kalau bareng kamu."

"Beneran nih. Ya, udah besok jemput aku ja."

"Sip."

Kepala Keti menunduk sambil menyangga dagu. Deva memperhatikan, Keti segera menutupi wajahnya.

"Ket, kamu bedakan yah. Haha, pantesan pangling, mau nglencerin siapa nih?"

Tangan ini segera membekap mulut Deva agar diam. Keti malu kalau ketahuan teman lain, jika tahu perubahannya hari ini.

"Dev, berisik tahu! Bisa diam gak." Ujar Keti sembari mengedipkan mata. Deva pun tertawa kecil mendengar ucapannya.

Tepat di saat bel berbunyi, kelas pun mulai ramai. Deva kembali ke tempat duduknya. Meninggalkannya di bangku depan. Keti terus memperhatikan dari kejauhan.

***

Pemalang, 28 Juni 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun