Mohon tunggu...
Mudzakkir Abidin
Mudzakkir Abidin Mohon Tunggu... Seorang guru yang suka menulis

Menulis adalah sumber kebahagiaan. Ia setara dengan seratus cangkir kopi dalam menaikkan dopamine otak. Jika kopi berbahaya jika berlebihan dikonsumsi, namun tidak dengan tulisan, semakin banyak semakin baik buat otak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Lintas Zaman yang Wajahnya Tak Menua

11 Juni 2022   20:46 Diperbarui: 11 Juni 2022   21:22 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sore tadi saya gowes bersepeda bersama putriku, Hilwa. Karena lewat di Istiqamah lima, saya mampir di rumah ustadz Mubasysyir Ibnu As'ad , guru sekaligus kolega mengajar saya di Spidi .

Nuansa rumah ustadz Muba, begitu kami biasa memanggilnya asri, pot-pot bunga berjejer rapi, teras rumahnya bersih padahal ayam peliharaan banyak berkeliaran di sekitar rumah. Cukup menandakan jika pemilik rumah peduli terhadap lingkungan yang bersih dan sehat.

Kak Acci (mohon maaf, saya menggunakan tiga namanya), begitu panggilan dari orang yang sangat akrab dengannya, hanya tinggal berdua dengan istri, sejak putri semata sewayangnya tinggal di rumah keluarganya di Makassar karena sedang kuliah.

Ustadz Muba tak tahu saya datang, jadi saya memotret teras rumahnya lalu mengirimnya lewat pesan WA untuk memberi tahu jika saya ada di depan rumahnya.

Fisiknya tak kurus tak juga gemuk. Kulitnya putih bersih. Rambutnya ikal. Orang-orang mengenalnya sebagai sosok humoris, murah senyum, hampir tak pernah marah, dan mudah bersahabat dengan semua orang. Ustadz Muba tipe orang yang mudah bergaul dengan siapa saja karena ia tak menjaga jarak dengan orang lain. Ia bahkan biasanya lebih dahulu menyapa orang lain jika bertemu.

Coba tanyakan pada para siswi di Spidi, siapa sosok guru yang paling mereka senangi, rata-rata dari mereka menjawab : ustadz Mubassyir. Bukan hanya karena metodenya dalam mengajar yang menyenangkan, tapi juga sosoknya yang kebapakan. Saya sendiri sudah menanyakan hal itu kepada mereka.

Nyaris tak ada alasan untuk membencinya. Atau bahasa lainnya, ada beribu alasan untuk menyukainya. Mungkin itu alasan mengapa kak Acci kelihatan awet muda padahal usianya sudah melebih 40 tahun. Tak ada musuhnya. Tak pernah terlihat bermasalah dengan orang lain. Atau bahkan kedengaran mengeluh sedikit pun.

Ustadz Muba punya standard sendiri dalam berpakaian. Rapi. Bersih. Modis. Outfit yang ia pilih hampir selalu nuansanya senada. Enak dipandang. Tak sedikit yang menganggapnya perfeksionis dalam hal berpakaian. Jadi tidak mengherankan jika banyak ustadz muda di pesantren menjadikannya sebagai contoh dalam berpakaian. Termasuk saya pribadi.

Ustadz Muba adalah tipologi guru yang menguasai banyak disiplin ilmu. Multitalenta. Bisa dibilang di pesantren ia adalah bapaknya ilmu desain grafis sejak komputer masih berbentuk tabung, hingga era digital sekarang ini.

Kak Acci juga bisa dianggap sebagai suhu dalam ilmu imla khat. Tulisan Arab dan latinnya sangat indah. Penulisan nama dalam ijazah atau piagam selalu dipercayakan kepada Kak Acci. Pokoknya urusan yang mengharuskan ketelitian, keindahan, dan kerapian serahkan pada beliau.

Belum lagi urusan menjadi MC dalam pengajian atau walimah pernikahan. Tak ada yang berani maju saat dirinya ada. Bisa dianggap sosoknya sebagai dedengkot urusan ini karena keterampilannya itu. Ia bisa sangat serius atau juga melucu. Tergantung acaranya.

Obrolan kami sore tadi melipir pada banyak hal, tapi lebih banyak pada soal kehidupan perjuangan ayahnya dalam berpesantren. Saya lebih banyak mendengar sambil sesekali bertanya atau menimpali. Ia bercerita tentang ayahnya yang hidup demi dakwah dan pesantren Darul Istiqamah. Hingga selalu berpindah tugas di banyak cabang pesantren Darul Istiqamah.

"Abbaku pernah tugas di Babang, Balangnipa, Pucee, dan Maccopa. Pindah-pindah. Saya selalu ikut. Hingga kemudian abbaku meninggal di Makassar" Kenangnya.

Ia juga berbicara tentang adab yang jauh lebih penting dibanding ilmu. Baginya ilmu tak berarti apa-apa tanpa adab. Dalam berdakwah, adab dinomorsatukan.
"Kita harus mengedepankan amar ma'ruf daripada nahi mungkar. Maksudnya, hikmah dalam berdakwah dan menasihati." Kata beliau dengan semangat.

Sebenarnya banyak hal yang kami bicarakan. Tapi tak bisa saya tuliskan semua. Soal ayahnya, ustadz As'ad -allahu yarham- sebagai kader dakwah dan pesantren Darul Istiqamah, saya pikir ia telah melanjutkan tongkat estafet perjuangan sang ayah. Ia mengabdi dan mengajar di pesantren Darul Istiqamah sejak puluhan tahun silam hingga sekatang. Tak berlebihan jika dikatakan ia adalah kader muda terbaik Darul Istiqamah saat ini. Di mana sosoknya menjadi panutan para kader muda pesantren Darul Istiqamah.

Soal hikmah dan adab, ia adalah figur yang selalu mengedepankan akhlak mulia. Tak grasak grusuk dalam menegur orang lain apalagi sampai menghakimi orang lain. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa ia tak punya musuh sama sekali.

Akhirnya, banyak yang ingin saya tulis tentang beliau, namun rasanya tak mungkin bisa menuliskan semuanya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa Darul Istiqamah, Spidi, dan Islam khususnya bangga punya sosok seperti ustadz Mubasysyir ini. Saya pun bangga pernah menjadi muridnya dan kemudian menjadi koleganya dalam mengajar di Spidi. Saya angkat topi buatnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun