Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pengecualian dalam Catatan Spesial Manchester City

13 Mei 2019   12:54 Diperbarui: 13 Mei 2019   12:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diadopsi dari www.nytimes.com

Kembali menjadi juara. Machester City menjadi klub pertama yang menyamai pencapaian Manchester United di era Premier League. Dengan 14 kali kemenangan beruntun di akhir musim, Citizen kembali mampu menahan tekanan luar biasa dari Liverpool. Sekaligus menggenapi masa dahaga juara liga pasukan Rock-Klopp menjadi 30 tahun.

Silahkan lihat bagaimana dengan penuh percaya diri, Riyadh Mahrez serasa menghentikan waktu. Menerima umpan David Silva, Mahrez terlihat bersiap menembak dengan kaki andalannya. Saat itu Lewis Dunk dengan sigap langsung menutup ruang tembak dengan sliding khas sepak bola Inggris.

Ternyata dia hanya melakukan gerak tipu dan mengubah arah bola. Sekaligus membiarkan Dunk melemparkan dirinya di atas rumput seperti prajurit latihan perang. Dengan kaki kanannya Mahrez kembali membiarkan waktu bergulir dengan tiba-tiba. Bola melesat ke pojok kiri-atas penjaga gawang Brighton, Mathew Ryan. Kali ini waktu bergulir ke arah Manchester City.

Setelah sebelumnya dikagetkan dengan sundulan Glenn Murray menit 27. Skenario juara sepertinya bakal berantakan. City akan menjadi bahan ejekan. Namun, Aguero sepertinya tidak ingin skenario berubah. Hanya butuh kurang dari 10 menit, dia memutar seperti ahli dan menempatkan bola melewati kedua kaki Ryan.

Tepat 10 menit kemudian Aymeric Laporte terbang melayang di atas area penalti yang ramai. Kemudian bek mahal tersebut turun dengan merayakan keunggulan City. Tapi itu saja belum cukup. Pep masih terlihat tidak senang di pinggir lapangan. Sampai akhirnya Mahrez melakukan hal yang tidak familiar. Gol dengan kaki kanan. Gol yang membuat Guardiola meloncat kegirangan. Lesakan indah yang mengakhiri laga. Sebelum akhirnya ditutup dengan sempurna dengan tendangan bebas Ilkay Gundongan.

Standar baru Premier League

Pep Guardiola telah mengubah banyak hal dalam sepak bola Inggris. Pria Catalan tersebut baru saja memastikan standard baru untuk juara Liga Inggris. Dua gol Sadio Mane ke gawang Wolverhamton mengantarkan Liverpool menjadi tim dengan perolehan poin tertinggi ketiga dalam sejarah Liga Inggris. Tapi apa mau dikata, perolehan poin tersebut tidak cukup untuk menjadi jurara. Sejak Guardiola menemukan ritme pada tahun keduanya, standar juara telah bergeser. Butuh minimal 100 poin untuk merebut gelar dari Citizen.

Leicester City dengan Ranieri hanya membutuhkan 23 kemenangan dengan 81 poin untuk menjadi dongeng edisi 2015/2016. Bahkan, gol telat ikonik Aguero ke gawang QPR yang mengantarkan City untuk pertama kali menjuarai Liga 2011-2012 hanya mampu memberikan angka 89 waktu itu. Inilah Pep Effect. Jurgen Klopp pun mengakui bahwa dia dan Liverpool harus close to perfection untuk mengkudeta City dari tahta BPL. Sambil memberikan selamat kepada City, Klopp menekankan bahwa kondisi tersebut (gagal juara) bukanlah hal yang ia khawatirkan. Melainkan sesuatu yang harus disyukuri. Pasalnya ia dan timnya berada pada satu lintasan bersama City. Klub yang bukan hanya memiliki modal, tapi juga memiliki Guardiola.

Sebuah pengecualian

Gambar diadopsi dari www.nytimes.com
Gambar diadopsi dari www.nytimes.com

Pertandingan minggu (12/5/2019) mungkin akan menjadi penanda baru supremasi Guardiola. Ya, hanya dia. Manager yang menyadari tiap detil taktiknya. Ia menyadari filosofi taktik tidak akan cukup pada sepak bola modern. Pep ingin melindungi warisan taktiknya. Ia menyadari perlindungan terbaik hanya lewat tropi. Back to back Liga Inggris sudah. Manchester City selangkah lagi menuju ambisi utamanya, menguasai Eropa. Tapi, ada satu pengecualian atas cerita dominasi City dalam dua musim terakhir.

Para pemain City tidak mendapatkan penghargaan individual. Tahun lalu Mohamed Salah mendapatkannya. Rekan setimnya, Virgil van Dirk kembali membawa penghargaan tersebut ke Anfield. Meskipun, Sterling memenangkan penghargaan pemain versi Asosiasi Penulis Bola, namun itu bukanlah penghargaan mayor. Ini aneh. Namun, bisa menjadi hal yang tidak aneh jika kita melihat dari filosofi sepak bola.

City bermain sebagai sebuah kekuatan tim. Tidak ada yang lebih menonjol. Tidak ada figure menonjol. Tidak ada ketakutan ketika sang dominan cedera. Sedangkan Liverpool mungkin tidak seperti itu. Insiden Sergio Ramos melegitimasi ketergantungan The Kop dengan Salah. Tahun ini, absennya van Dirk selalu merepotkan Klopp.

Manchester City adalah klub yang dibangun dengan cara yang berbeda. Kemenangannya bukan disebabkan oleh seseorang di lapangan, melainkan oleh orang yang ditempatkan taktik disana. Tidak peduli berapa banyak pemain berkualitas nan mahal yang dimiliki. Tidak peduli apa yang mereka capai, mereka akan selalu dalam bayangan sosok besar. Lelaki bernama Josep Guardiola Sala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun